Menginternalisasikan Sikap Ihsan
Jika kamu sendirian, maka jagalah hatimu. Jika kamu di tengah orang-orang, maka jagalah lisanmu. Jika kamu dihadapan meja makan, maka jagalah perutmu. Jika kamu di jalanan, maka jagalah matamu. Sebab Allah melihatmu.
Seorang saleh dari kalangan thabi’in, Sahal bin Abdullah Tasatturi menceritakan salah satu pengalaman penting dalam hidupnya. Saat berusia tiga tahun, ia melihat pamannya Muhammad bin Suwar melaksanakan shalat. Setelah selesai, sang paman bertanya, "Tidakkah engkau berzikir kepada Allah yang menciptakanmu?" Sahal balik bertanya, "Bagaimana caranya?
Muhammad bin Suwar kemudian menjelaskan, "Katakanlah dengan hatimu:
‘Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku.’ Katakan hal itu sebanyak tiga kali tanpa menggerakkan lisan, ketika engkau hendak tidur."
Ia kemudian melaksanakan nasihat itu selama beberapa malam. Setelah itu, Sahal memberitahukannya kepada Muhammad bin Suwar. "Lakukan hal itu tujuh kali dalam satu malam," pinta pamannya kembali. Nasihat itu pun dijalankan Sahal dengan sungguh-sungguh. Pamannya kemudian memintanya menambah zikir tersebut menjadi sebelas kali. "Saat saya melakukan hal itu selama satu tahun lamanya, pamanku berkata, ‘Hapalkan apa yang telah aku ajarkan dan lakukanlah itu selalu sampai engkau masuk ke liang kubur. Kata-kata itu akan bermanfaat bagimu di dunia dan akhirat. Wahai Sahal
barangsiapa merasakan Allah bersamanya, Allah melihatnya dan Allah menyaksikannya, apakah ia akan melakukan maksiat kepada-Nya?
Apa yang diajarkan Muhammad bin Suwar kepada Sahal Tasatturi, keponakannya, terbilang sederhana. Yaitu menggunakan metode pengulangan (repetitive). Menyebutkan suatu hal secara berulang-ulang, melalui lisan, pikiran dan hati sekaligus, akan menjadikan kalimat-kalimat tersebut tertanam kuat di alam bawah sadar. Bila terus diulang dalam jangka waktu lama maknanya akan mendarah daging dan akhirnya menjadi kekuatan dahsyat yang akan mengendalikan tingkah laku. Para ahli menyebutnya sebagai repetitive magic power.
Dalam "teori otak", bila sebuah informasi diulang-ulang maka pertautan antar sel-sel (neuron) di otak akan semakin kuat. Sel-sel syaraf yang semakin banyak dan kuat, akan memperkuat pengetahuan yang dimiliki seseorang. Kekuatan pengetahuan itu terletak pada keluasan wawasan dan kebijaksaaan yang semakin kuat dan meningkat. Seseorang yang bermujahadah (bersungguh-sungguh) sejak masa mudanya, untuk menguasai sebuah ilmu atau perbuatan, biasanya akan memiliki kebijaksanaan dan keyakinan diri yang kuat pada masa tuanya. Inilah yang terjadi pada Sahal Tasatturi. Ia
terkenal sebagai seorang sosok yang sangat zuhud dan sangat takut kepada Allah.
Mengingat nama Allah (dzikrullah ), adalah sarana efektif untuk menjernihkan hati. Andai dilakukan secara istikamah akan menjadikan seorang hamba selalu merasa ditatap oleh Al-Khaliq. Inilah yang terpenting, sebagai esensi keimanan dan puncak kecintaan seorang hamba kepada Allah. Bukankah hal yang paling berkesan adalah hal yang paling diingat?Tidak ada yang paling diingat oleh seorang pecinta, selain yang dicintainya. Dan tahukah bahwa mencintai dan dicintai Allah adalah anugerah terbesar bagi seorang Muslim. Kisah-kisah legendaris dari para sufi besar, seperti
Al-Ghazali, Fudhail bin Iyadh, Ibrahim bin Adham, Junaid Al-Baghdadi ataupun Rabi’ah Al-Adawiyah banyak menginspirasikan hal tersebut.
Rasulullah SAW pun pernah bertanya kepada para sahabat, Maukah kuberitahukan kepada kalian tentang amalan yang paling baik, paling suci dalam pandangan Tuhan kalian, mengangkat tinggi derajat orang-orang yang mengamalkannya, dan tak kalah bernilai daripada menafkahkan emas dan perak, bahkan tidak kalah utama dibanding bertemu dengan musuh di medan perang kemudian kalian saling berperang dan mati syahid?" Mereka menjawab, "Tentu, wahai Rasulullah! Kami sangat ingin diberi tahu". Rasulullah menjawab, "Berzikirlah kepada Allah." (HR Tirmidzi, Ahmad, dan Hakim).
Dalam konteks hubungan dengan Allah, zikir yang intens dilakukan akan melahirkan sikap ihsan. Menurut Rasulullah SAW ihsan adalah menyembah Allah seakan-akan kita melihat-Nya. Jika kita tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kita (HR Muslim) .
Saat seseorang sudah ihsan, dalam arti selalu merasa dilihat Allah, maka dalam kondisi apapun ia akan malu bermaksiat kepada Allah. Lebih jauh, ia pun akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Tuhannya. Tak masalah apakah itu dalam kesendirian atau di tengah banyak orang. Saat berada dalam kesendirian, ia tetap merasa ramai. Betapa tidak, Allah senantiasa hadir dan dekat dengan dirinya. Sebaliknya, saat berada dalam hiruk pikuk keramaian, ia justru merasa "sepi". Sebab pandangan Allah tidak pernah luput darinya.
Kisah anak gembala dengan Umar bin Khathab adalah gambaran indah tentang kekuatan ihsan. Saat itu Umar membujuk si anak gembala untuk menjual satu dari ratusan kambing milik majikannya yang ia gembalakan. Apa yang dikatakan anak gembala tersebut, Fa’ainallah? Kalau begitu di manakah Allah? Saya bisa membohongi majikan saya, namun saya tidak mungkin membohongi Allah. Dia selalu melihat apa yang saya lakukan!" Demikian luar biasa orang-orang yang sadar bahwa setiap gerak langkahnya merasa ditatap dan diperhatikan Allah.
Ada sebuah pesan yang layak kita renungkan, "Jika kamu sendirian, maka jagalah hatimu. Jika kamu di tengah orang-orang, maka jagalah lisanmu. Jika kamu dihadapan meja makan, maka jagalah perutmu. Jika kamu di jalanan, maka jagalah matamu. Sebab Allah melihatmu." Wallaahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar