Menjawab Polemik seputar Hukum memenuhi Undangan
Oleh: Aang Yulius Prihatmoko
Hukum memenuhi undangan
Bismillahirrahmanirrahim
Hukum memenuhi undangan walimah adalah wajib.
Dalilnya sbb;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا وَمَنْ لَمْ يُجِبْ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
[صحيح مسلم 7/ 289]
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi saw bersabda,
“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, orang yang akan datang (orang miskin) tidak diundang, tetapi orang yang tidak akan datang (orang kaya) malah diundang. Barang siapa yang tidak memenuhi undangan walimah, sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.”
Sedangkan selain walimah, maka itu tidaklah wajib dengan alasan:
- Perintah mendatangi undangan selain walimah itu hanya Muthlaqul amr, tidak ada qorinah jazm
- Qorinah jazm hanya ada pada undangan walimah
- Rasul pernah menolak undangan
- Ada kasus-kasus shahabat diundang menolak datang
Contoh rasul tidak menyambut undangan;
عن أبي زَيدٍ أُسَامَةَ بنِ زيدِ بنِ حارثةَ مَوْلَى رسولِ الله - صلى الله عليه وسلم - وحِبِّه وابنِ حبِّه رضي اللهُ عنهما ، قَالَ : أرْسَلَتْ بنْتُ النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم - إنَّ ابْني قَد احْتُضِرَ فَاشْهَدنَا ، فَأَرْسَلَ يُقْرىءُ السَّلامَ ، ويقُولُ : (( إنَّ لله مَا أخَذَ وَلَهُ مَا أعطَى وَكُلُّ شَيءٍ عِندَهُ بِأجَلٍ مُسَمًّى فَلتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ )) فَأَرسَلَتْ إِلَيْهِ تُقْسِمُ عَلَيهِ لَيَأتِينَّهَا . فقامَ وَمَعَهُ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ ، وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ ، وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابتٍ ، وَرجَالٌ - رضي الله عنهم - ، فَرُفعَ إِلَى رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - الصَّبيُّ ، فَأقْعَدَهُ في حِجْرِهِ وَنَفْسُهُ تَقَعْقَعُ ، فَفَاضَتْ عَينَاهُ فَقالَ سَعدٌ : يَا رسولَ الله ، مَا هَذَا ؟ فَقالَ : (( هذِهِ رَحمَةٌ جَعَلَها اللهُ تَعَالَى في قُلُوبِ عِبَادِهِ )) وفي رواية : (( فِي قُلُوبِ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادِهِ ، وَإِنَّما يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبادِهِ الرُّحَماءَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
وَمَعنَى (( تَقَعْقَعُ )) : تَتَحرَّكُ وتَضْطَربُ .
[رياض الصالحين (تحقيق الدكتور الفحل) 1/ 42]
Dari Abu Zaid Usamah bin Zaid bin Haritsah, maula Rasulullah saw dan kesayangannya ia berkata, “Putri Rasulullah meminta Rasulullah untuk datang (sambil membawa berita) ‘Sesungguhnya putraku dalam keadaan sakaratul maut, maka hadirlah diantara kami’. Maka Rasulullah mengirim (utusan untuk) menyampaikan salam (tetapi belum berkenan datang disertai dengan pesan) ‘Sesungguhnya menjadi hak Allah apa yang Dia ambil, dan dan menjadi hakNya pula lah apa yang telah Dia berikan. Segala sesuatu di sisiNya telah ditetapkan ajalnya, maka hendaklah ia tabah dan mengharap pahala.’ Kemudian putrinya mengirim (utusan lagi untuk memohon) dengan bersumpah agar beliau mau mendatanginya. Lalu beliau datang bersama Sa’ad bin ‘Ubadah, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan beberapa orang laki-laki. Kemudian anak itu diserahkan kepada Rasulullah, dan beliau mendudukkannya di atas pangkuan, sementara nafasnya tidak beratur. Maka berlinanglah air mata beliau. Sa’ad berkata, ‘Ya Rasul, mengapa engkau menangis?’ Beliau berkata, ‘Ini adalah bentuk kasih sayang yang disematkan Allah di dalam hati hamba-hambaNya.’ Dalam suatu riwayat dikatakan ‘dalam hati siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambaNya, Allah hanya menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang.”
Seandainya permintaan datang wajib dilakukan maka seharusnya nabi langsung datang tanpa perlu permintaan yg sangat dari putrinya.
Contoh shahabat menolak permintaan datang;
عن محمد بن الزبير الحنظلي حدثني مولى زياد قال : أرسلني زياد إلى حجر بن عدي و يقال فيه : ابن الأدبر فأبى أن يأتيه ثم أعادني الثانية فأبي أن يأتيه قال : فأرسل إليه أني أحذرك أن تركب أعجاز أمور هلك من ركب صدورها
dari Muhammad bin az-Zubair al-Handholi, “Maula Ziyad bercerita kepadaku seraya berkata, ‘Ziyad mengutusku (untuk mendatangi/mengundang datang) ke Hujr bin Adi , -versi lain nama beliau adalah ibnu Al Adbr-, namun ia (Hujr bin Adi) menolak untuk mendatanginya (mendatangi ziyad, memenuhi undangannya), kemudian Ziyad mengutusku kembali untuk kedua kalinya, namun Hujr tetap menolak untuk datang.’ Ia berkata, ‘Maka Hujr mengirim (utusan sambil membawa pesan) kepadanya (ziyad); aku memperingatkanmu untuk terlibat pada suatu perkara, yaitu perkara yang membuat orang yang terjun ke dalamnya akan binasa.’”
[المستدرك على الصحيحين للحاكم مع تعليقات الذهبي في التلخيص 3/ 531]
عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ ، أَنَّ عَلِيًّا أَرْسَلَ إِلَى مُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ أَنْ يَأْتِيَهُ ، فَأَرْسَلَ إلَيْهِ ، وَقَالَ : إِنْ هُوَ لَمْ يَأْتِنِي فَاحْمِلُوهُ ، فَأَتَوْهُ فَأَبَى أَنْ يَأْتِيَهُ ، فَقَالُوا : إنَّا قَدْ أُمِرْنَا إِنْ لَمْ تَأْتِهِ أَنْ نَحْمِلَك حَتَّى نَأْتِيَهُ بِكَ ، قَالَ : ارْجِعُوا إلَيْهِ فَقُولُوا لَهُ : إِنَّ ابْنَ عَمِّكَ وَخَلِيلِي عَهِدَ إلَيَّ ، أَنَّهُ سَتَكُونُ فِتْنَةٌ وَفُرْقَةٌ وَاخْتِلاَفٌ ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَاجْلِسْ فِي بَيْتِكَ وَاكْسِرْ سَيْفَك حَتَّى تَأْتِيَك مَنِيَّةٌ قَاضِيَةٌ ، أَوْ يَدٌ خَاطِئَةٌ ، فَاتَّقِ اللَّهَ يَا عَلِيُّ وَلاَ تَكُنْ تِلْكَ الْيَدَ الْخَاطِئَةَ ، فَأَتَوْهُ فَأَخْبَرُوهُ ، فَقَالَ : دَعُوهُ.
[مصنف ابن أبي شيبة 15/ 50]
Dari Ali bin Zaid, bahwasanya Ali mengundang Muhammad bin Maslamah untuk mendatanginya, maka Alipun mengutus (utusan tersebut). Ali berpesan, “Jika ia tak mendatangiku, maka bawalah (dengan paksa) dia.” Maka mereka mereka mendatangi Muhammad bin Maslamah,tp ternyata beliaun menolak mendatangi Ali. Maka mereka (para utusan Ali itu) berkata, “Sesungguhnya kami diperintahkan, jika engkau tidak mendatanginya, agar kami membawamu (dengan paksa) kepadanya sehingga kami mendatangi Ali denganmu.” Muhammad bin Maslamah berkata, “Kembalilah kepadanya dan katakan kepadanya; sesungguhnya Putra pamanmu yang juga kekasihku – maksudnya Rasulullah – telah berpesan dan memberi amanah kepadaku bahwa sanya akan ada fitnah, perpecahan dan perselisihan.” Jika masa itu terjadi, maka diamlah di rumahmu, dan patahkanlah pedangmu sampai ajal menemuimu atau tangan yang bersalah (yang membunuhmu), dan bertakwalah kepada Allah wahai Ali, janganlah menjadi tangan yang salah itu Lalu mereka kembali kepada Ali dan menceritakan kepadanya (apa yang telah terjadi). Ali berkata, “Biarkanlah dia.”
Tentang perintah menghadiri undangan secara mutlak pada hadits berikut;
صحيح مسلم - (ج 7 / ص 281)
عن نافع أن ابن عمر كان يقول عن النبي صلى الله عليه وسلم : إذا دعا أحدكم أخاه فليجب عرسا كان أو نحوه
Dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Rasulullah saw, “Jika salah seorang di antara kalian mengundang saudaranya, hendaklah ia mendatanginya, baik walimah nikah maupun selainnya.”
Maka itu baru mencapai level muthlaqul amr, belum ada qorinah jazm. Suatu perintah belum bisa dijadikan dasar untuk menentukan status hukum sebelum ada qorinah.
Misalnya perintah Allah;
{فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ} [البقرة: 187]
“Maka sekarang gaulilah mereka.”
Ayat di atas memakai shighat perintah. Tapi keliru jika dengan alasan ayat ini lalu menyimpulkan menjimaki istri difahami wajib.
Shighat amr belum tentu bermakna wajib.
Tentang hadis yg mengandung makna tajibu, yaitu hadis;
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم خمس تجب للمسلم على أخيه رد السلام وتشميت العاطس وإجابة الدعوة وعيادة المريض واتباع الجنائز
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw berkata, “Ada lima perkara yang wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya; menjawab salam, menjawab orang yang bersin, memenuhi undangan, menjenguk orang sakit, dan mengantar jenazah.”
maka kata tajibu itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menyatakan kewajibannya. Karena lafadz wajaba-yajibu-wajibun yang kita bicarakan adalah istilah ushul fikih, sementara di masa Rasulullah belum dirumuskan istilah ushul fikih. Jadi merupakan kekeliruan besar memahami hadits nabi dengan istilah ushul fiqih.
Itu sama dengan menerjemahkan lafadz sayyaroh pada ayat;
{وَجَاءَتْ سَيَّارَةٌ فَأَرْسَلُوا وَارِدَهُمْ فَأَدْلَى دَلْوَهُ} [يوسف: 19]
“Kemudian datanglah kelompok musafir, lalu mereka menyuruh seseorang pengambil air, maka ia menurunkan timbanya.”
Apakah bisa sayyaroh dimaknai dengan makna Mobil, padahal di zaman nabi Yusuf belum ada mobil?
Sayyaroh bermakna mobil adalah istilah zaman sekarang.
Maka tidak boleh memahami nash dengan istilah sesudah zaman nabi.
Memahami nash itu harus dengan makna syara, atau makna ‘urf zaman nabi, atau makna bahasa.
Untuk kasus tajibu pada hadis di atas, maka lebih tepat dimaknai dengan makna bahasa yang mengarah pada makna "Ta'kid istihbab" (tekanan hukum sunnah/mandub)sebagaimana penjelasan para fuqoha.
Ini sama persis dengan hadis yang menyatakan perintah mandi shalat jumat berikut;
عن أبي سعيد قال : أشهد على رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال
«الغسل يوم الجمعة واجب على كل محتلم، وأن يَسْتنَّ، وأن يمسَّ طيباً إن وجد» رواه البخاري
Abu Sa’id berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap laki-laki yang telah bermimpi (baligh), begitu pula menyikat gigi, dan menggunakan wewangian jika ia mendapatinya.”
Meski ada kata wajib, tetapi maknanya bukan makna istilah ushul fikih, namun ta'kid istihbab saja. Buktinya nabi mengatakan dalam hadis lain,mandi shalat jumat itu afdhol saja.
Misalnya hadis; عن سَمُرَة بن جندب قال: قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - «من توضأ يوم الجمعة فبها ونعمت، ومن اغتسل فهو أفضل» رواه أحمد وأبو داود والنَّسائي وابن خُزَيمة. ورواه التِّرمذي وحسَّنه.
Dari Samurah bin Jundab, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa berwudhu pada
hari Jumat, maka itu sudah cukup dan baik. Dan barangsiapa yang mandi, maka itu lebih utama.”
Utsman bin affan juga pernah shalat jumat tanpa mandi. Misalnya riwayat;
عن ابن عمر «أن عمر بن الخطاب بينما هو قائم في الخطبة يوم الجمعة، إذ دخل رجل من المهاجرين الأوَّلين من أصحاب النبي- صلى الله عليه وسلم - فناداه عمر: أية ساعة هذه؟ قال: إني شُغلت فلم أنقلب إلى أهلي حتى سمعت التأذين، فلم أزد أن توضأت، فقال: والوضوء أيضاً؟ وقد علمتَ أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - كان يأمر بالغسل» رواه البخاري ومسلم وأحمد والتِّرمذي ومالك.
Dari ibnu Umar, bahwasanya Umar bin al-Khaththab ketika ia berdiri dalam khuthbahnya pada hari Jumat, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang termasuk dari muhajirin senior dan juga sahabat Rasul, kemudian Umar menyerunya, “Jam berapa ini (kok anda begitu terlambat menghadiri shalat jum'at)?” Laki-laki tadi berkata, “Saya sibuk, begitu aku pulang ke rumah ternyata sudah Adzan (jum'at). Lalu saya hanya wudhu saja.” Umar berkata, “Cuma berWudhu? Bukankah Rasulullah telah memerintahkan untuk mandi?”
Namun demikian, pendapat yang menyatakan bahwa seluruh undangan adalah wajib, adalah pendapat yang islami. Sah-sah saja bagi seseorang untuk mengikuti atau sepakat dengan ijtihad tersebut. Namun fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa pendapat tersebut adalah pendapat minoritas, tidak popular dan tidak diikuti oleh banyak ulama. Ibnu Hazm misalnya, adalah madzhab yang sekarang telah mati, karena ijtihad-ijtihad yg kering. Kalaupun ada yg mengikuti madzhab dhohiri, hanya person satu dua mungkin. Assyaukani dan al-mubarokfuri misalnya, keulamaan tidak sampai level membentuk madzhab.
Wallahu a’lamu bis-shawab
Hukum memenuhi undangan
Bismillahirrahmanirrahim
Hukum memenuhi undangan walimah adalah wajib.
Dalilnya sbb;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا وَمَنْ لَمْ يُجِبْ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
[صحيح مسلم 7/ 289]
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi saw bersabda,
“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, orang yang akan datang (orang miskin) tidak diundang, tetapi orang yang tidak akan datang (orang kaya) malah diundang. Barang siapa yang tidak memenuhi undangan walimah, sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.”
Sedangkan selain walimah, maka itu tidaklah wajib dengan alasan:
- Perintah mendatangi undangan selain walimah itu hanya Muthlaqul amr, tidak ada qorinah jazm
- Qorinah jazm hanya ada pada undangan walimah
- Rasul pernah menolak undangan
- Ada kasus-kasus shahabat diundang menolak datang
Contoh rasul tidak menyambut undangan;
عن أبي زَيدٍ أُسَامَةَ بنِ زيدِ بنِ حارثةَ مَوْلَى رسولِ الله - صلى الله عليه وسلم - وحِبِّه وابنِ حبِّه رضي اللهُ عنهما ، قَالَ : أرْسَلَتْ بنْتُ النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم - إنَّ ابْني قَد احْتُضِرَ فَاشْهَدنَا ، فَأَرْسَلَ يُقْرىءُ السَّلامَ ، ويقُولُ : (( إنَّ لله مَا أخَذَ وَلَهُ مَا أعطَى وَكُلُّ شَيءٍ عِندَهُ بِأجَلٍ مُسَمًّى فَلتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ )) فَأَرسَلَتْ إِلَيْهِ تُقْسِمُ عَلَيهِ لَيَأتِينَّهَا . فقامَ وَمَعَهُ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ ، وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ ، وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابتٍ ، وَرجَالٌ - رضي الله عنهم - ، فَرُفعَ إِلَى رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - الصَّبيُّ ، فَأقْعَدَهُ في حِجْرِهِ وَنَفْسُهُ تَقَعْقَعُ ، فَفَاضَتْ عَينَاهُ فَقالَ سَعدٌ : يَا رسولَ الله ، مَا هَذَا ؟ فَقالَ : (( هذِهِ رَحمَةٌ جَعَلَها اللهُ تَعَالَى في قُلُوبِ عِبَادِهِ )) وفي رواية : (( فِي قُلُوبِ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادِهِ ، وَإِنَّما يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبادِهِ الرُّحَماءَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
وَمَعنَى (( تَقَعْقَعُ )) : تَتَحرَّكُ وتَضْطَربُ .
[رياض الصالحين (تحقيق الدكتور الفحل) 1/ 42]
Dari Abu Zaid Usamah bin Zaid bin Haritsah, maula Rasulullah saw dan kesayangannya ia berkata, “Putri Rasulullah meminta Rasulullah untuk datang (sambil membawa berita) ‘Sesungguhnya putraku dalam keadaan sakaratul maut, maka hadirlah diantara kami’. Maka Rasulullah mengirim (utusan untuk) menyampaikan salam (tetapi belum berkenan datang disertai dengan pesan) ‘Sesungguhnya menjadi hak Allah apa yang Dia ambil, dan dan menjadi hakNya pula lah apa yang telah Dia berikan. Segala sesuatu di sisiNya telah ditetapkan ajalnya, maka hendaklah ia tabah dan mengharap pahala.’ Kemudian putrinya mengirim (utusan lagi untuk memohon) dengan bersumpah agar beliau mau mendatanginya. Lalu beliau datang bersama Sa’ad bin ‘Ubadah, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan beberapa orang laki-laki. Kemudian anak itu diserahkan kepada Rasulullah, dan beliau mendudukkannya di atas pangkuan, sementara nafasnya tidak beratur. Maka berlinanglah air mata beliau. Sa’ad berkata, ‘Ya Rasul, mengapa engkau menangis?’ Beliau berkata, ‘Ini adalah bentuk kasih sayang yang disematkan Allah di dalam hati hamba-hambaNya.’ Dalam suatu riwayat dikatakan ‘dalam hati siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambaNya, Allah hanya menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang.”
Seandainya permintaan datang wajib dilakukan maka seharusnya nabi langsung datang tanpa perlu permintaan yg sangat dari putrinya.
Contoh shahabat menolak permintaan datang;
عن محمد بن الزبير الحنظلي حدثني مولى زياد قال : أرسلني زياد إلى حجر بن عدي و يقال فيه : ابن الأدبر فأبى أن يأتيه ثم أعادني الثانية فأبي أن يأتيه قال : فأرسل إليه أني أحذرك أن تركب أعجاز أمور هلك من ركب صدورها
dari Muhammad bin az-Zubair al-Handholi, “Maula Ziyad bercerita kepadaku seraya berkata, ‘Ziyad mengutusku (untuk mendatangi/mengundang datang) ke Hujr bin Adi , -versi lain nama beliau adalah ibnu Al Adbr-, namun ia (Hujr bin Adi) menolak untuk mendatanginya (mendatangi ziyad, memenuhi undangannya), kemudian Ziyad mengutusku kembali untuk kedua kalinya, namun Hujr tetap menolak untuk datang.’ Ia berkata, ‘Maka Hujr mengirim (utusan sambil membawa pesan) kepadanya (ziyad); aku memperingatkanmu untuk terlibat pada suatu perkara, yaitu perkara yang membuat orang yang terjun ke dalamnya akan binasa.’”
[المستدرك على الصحيحين للحاكم مع تعليقات الذهبي في التلخيص 3/ 531]
عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ ، أَنَّ عَلِيًّا أَرْسَلَ إِلَى مُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ أَنْ يَأْتِيَهُ ، فَأَرْسَلَ إلَيْهِ ، وَقَالَ : إِنْ هُوَ لَمْ يَأْتِنِي فَاحْمِلُوهُ ، فَأَتَوْهُ فَأَبَى أَنْ يَأْتِيَهُ ، فَقَالُوا : إنَّا قَدْ أُمِرْنَا إِنْ لَمْ تَأْتِهِ أَنْ نَحْمِلَك حَتَّى نَأْتِيَهُ بِكَ ، قَالَ : ارْجِعُوا إلَيْهِ فَقُولُوا لَهُ : إِنَّ ابْنَ عَمِّكَ وَخَلِيلِي عَهِدَ إلَيَّ ، أَنَّهُ سَتَكُونُ فِتْنَةٌ وَفُرْقَةٌ وَاخْتِلاَفٌ ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَاجْلِسْ فِي بَيْتِكَ وَاكْسِرْ سَيْفَك حَتَّى تَأْتِيَك مَنِيَّةٌ قَاضِيَةٌ ، أَوْ يَدٌ خَاطِئَةٌ ، فَاتَّقِ اللَّهَ يَا عَلِيُّ وَلاَ تَكُنْ تِلْكَ الْيَدَ الْخَاطِئَةَ ، فَأَتَوْهُ فَأَخْبَرُوهُ ، فَقَالَ : دَعُوهُ.
[مصنف ابن أبي شيبة 15/ 50]
Dari Ali bin Zaid, bahwasanya Ali mengundang Muhammad bin Maslamah untuk mendatanginya, maka Alipun mengutus (utusan tersebut). Ali berpesan, “Jika ia tak mendatangiku, maka bawalah (dengan paksa) dia.” Maka mereka mereka mendatangi Muhammad bin Maslamah,tp ternyata beliaun menolak mendatangi Ali. Maka mereka (para utusan Ali itu) berkata, “Sesungguhnya kami diperintahkan, jika engkau tidak mendatanginya, agar kami membawamu (dengan paksa) kepadanya sehingga kami mendatangi Ali denganmu.” Muhammad bin Maslamah berkata, “Kembalilah kepadanya dan katakan kepadanya; sesungguhnya Putra pamanmu yang juga kekasihku – maksudnya Rasulullah – telah berpesan dan memberi amanah kepadaku bahwa sanya akan ada fitnah, perpecahan dan perselisihan.” Jika masa itu terjadi, maka diamlah di rumahmu, dan patahkanlah pedangmu sampai ajal menemuimu atau tangan yang bersalah (yang membunuhmu), dan bertakwalah kepada Allah wahai Ali, janganlah menjadi tangan yang salah itu Lalu mereka kembali kepada Ali dan menceritakan kepadanya (apa yang telah terjadi). Ali berkata, “Biarkanlah dia.”
Tentang perintah menghadiri undangan secara mutlak pada hadits berikut;
صحيح مسلم - (ج 7 / ص 281)
عن نافع أن ابن عمر كان يقول عن النبي صلى الله عليه وسلم : إذا دعا أحدكم أخاه فليجب عرسا كان أو نحوه
Dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Rasulullah saw, “Jika salah seorang di antara kalian mengundang saudaranya, hendaklah ia mendatanginya, baik walimah nikah maupun selainnya.”
Maka itu baru mencapai level muthlaqul amr, belum ada qorinah jazm. Suatu perintah belum bisa dijadikan dasar untuk menentukan status hukum sebelum ada qorinah.
Misalnya perintah Allah;
{فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ} [البقرة: 187]
“Maka sekarang gaulilah mereka.”
Ayat di atas memakai shighat perintah. Tapi keliru jika dengan alasan ayat ini lalu menyimpulkan menjimaki istri difahami wajib.
Shighat amr belum tentu bermakna wajib.
Tentang hadis yg mengandung makna tajibu, yaitu hadis;
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم خمس تجب للمسلم على أخيه رد السلام وتشميت العاطس وإجابة الدعوة وعيادة المريض واتباع الجنائز
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw berkata, “Ada lima perkara yang wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya; menjawab salam, menjawab orang yang bersin, memenuhi undangan, menjenguk orang sakit, dan mengantar jenazah.”
maka kata tajibu itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menyatakan kewajibannya. Karena lafadz wajaba-yajibu-wajibun yang kita bicarakan adalah istilah ushul fikih, sementara di masa Rasulullah belum dirumuskan istilah ushul fikih. Jadi merupakan kekeliruan besar memahami hadits nabi dengan istilah ushul fiqih.
Itu sama dengan menerjemahkan lafadz sayyaroh pada ayat;
{وَجَاءَتْ سَيَّارَةٌ فَأَرْسَلُوا وَارِدَهُمْ فَأَدْلَى دَلْوَهُ} [يوسف: 19]
“Kemudian datanglah kelompok musafir, lalu mereka menyuruh seseorang pengambil air, maka ia menurunkan timbanya.”
Apakah bisa sayyaroh dimaknai dengan makna Mobil, padahal di zaman nabi Yusuf belum ada mobil?
Sayyaroh bermakna mobil adalah istilah zaman sekarang.
Maka tidak boleh memahami nash dengan istilah sesudah zaman nabi.
Memahami nash itu harus dengan makna syara, atau makna ‘urf zaman nabi, atau makna bahasa.
Untuk kasus tajibu pada hadis di atas, maka lebih tepat dimaknai dengan makna bahasa yang mengarah pada makna "Ta'kid istihbab" (tekanan hukum sunnah/mandub)sebagaimana penjelasan para fuqoha.
Ini sama persis dengan hadis yang menyatakan perintah mandi shalat jumat berikut;
عن أبي سعيد قال : أشهد على رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال
«الغسل يوم الجمعة واجب على كل محتلم، وأن يَسْتنَّ، وأن يمسَّ طيباً إن وجد» رواه البخاري
Abu Sa’id berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap laki-laki yang telah bermimpi (baligh), begitu pula menyikat gigi, dan menggunakan wewangian jika ia mendapatinya.”
Meski ada kata wajib, tetapi maknanya bukan makna istilah ushul fikih, namun ta'kid istihbab saja. Buktinya nabi mengatakan dalam hadis lain,mandi shalat jumat itu afdhol saja.
Misalnya hadis; عن سَمُرَة بن جندب قال: قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - «من توضأ يوم الجمعة فبها ونعمت، ومن اغتسل فهو أفضل» رواه أحمد وأبو داود والنَّسائي وابن خُزَيمة. ورواه التِّرمذي وحسَّنه.
Dari Samurah bin Jundab, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa berwudhu pada
hari Jumat, maka itu sudah cukup dan baik. Dan barangsiapa yang mandi, maka itu lebih utama.”
Utsman bin affan juga pernah shalat jumat tanpa mandi. Misalnya riwayat;
عن ابن عمر «أن عمر بن الخطاب بينما هو قائم في الخطبة يوم الجمعة، إذ دخل رجل من المهاجرين الأوَّلين من أصحاب النبي- صلى الله عليه وسلم - فناداه عمر: أية ساعة هذه؟ قال: إني شُغلت فلم أنقلب إلى أهلي حتى سمعت التأذين، فلم أزد أن توضأت، فقال: والوضوء أيضاً؟ وقد علمتَ أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - كان يأمر بالغسل» رواه البخاري ومسلم وأحمد والتِّرمذي ومالك.
Dari ibnu Umar, bahwasanya Umar bin al-Khaththab ketika ia berdiri dalam khuthbahnya pada hari Jumat, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang termasuk dari muhajirin senior dan juga sahabat Rasul, kemudian Umar menyerunya, “Jam berapa ini (kok anda begitu terlambat menghadiri shalat jum'at)?” Laki-laki tadi berkata, “Saya sibuk, begitu aku pulang ke rumah ternyata sudah Adzan (jum'at). Lalu saya hanya wudhu saja.” Umar berkata, “Cuma berWudhu? Bukankah Rasulullah telah memerintahkan untuk mandi?”
Namun demikian, pendapat yang menyatakan bahwa seluruh undangan adalah wajib, adalah pendapat yang islami. Sah-sah saja bagi seseorang untuk mengikuti atau sepakat dengan ijtihad tersebut. Namun fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa pendapat tersebut adalah pendapat minoritas, tidak popular dan tidak diikuti oleh banyak ulama. Ibnu Hazm misalnya, adalah madzhab yang sekarang telah mati, karena ijtihad-ijtihad yg kering. Kalaupun ada yg mengikuti madzhab dhohiri, hanya person satu dua mungkin. Assyaukani dan al-mubarokfuri misalnya, keulamaan tidak sampai level membentuk madzhab.
Wallahu a’lamu bis-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar