Selasa, 22 Mei 2012

MAHASISWI YANG PENUH SEMANGAT MENCARI ILMU,TETAP MENJALANKAN SYARIAT MESKI HARUS MEMULUNG.


Mahasiswi pemulung
Ming Ming Sari Nuryanti

Menjadi Pemulung untuk Membiayai Kuliah dan Melanjutkan Hidupnya

Mungkin, untuk sebagian orang, memulung botol-botol dan gelas bekas air mineral merupakan pekerjaan yang tidak bisa diandalkan. Namun tidak untuk Ming Ming Sari Nuryanti 18 tahun (saat ini usianya 22 tahun). Ia justru mengandalkan rezekinya dari botol dan gelas-gelas plastik itu. Ia bisa makan dan kuliah karena itu. Bagaimana perjuangannya dan kegiatannya sehari-hari?


Kamis (3/4) pukul 06.00 WIB. Saya menyusuri jalan kota Bogor menuju Rumpin, sebuah desa kecil yang letaknya kira-kira 100 km dari kota Bogor. Untuk bisa sampai ke Rumpin, kita harus mengganti kendaraan hingga tiga kali. Jalan ke desa ini pun berkelok-kelok. Di pinggir jalan terlihat batu besar dan tumpukan pasir setinggi laki-laki dewasa. Saya baru tiba di SMU Negeri 1 Rumpin sekitar pukul 10.00 WIB, tempat dimana Saya janji bertemu dengan seorang gadis. Setelah beberapa lama menunggu, muncul seorang gadis mungil dari pintu gerbang sekolah. Ia mengenakan jilbab berwarna hijau dan terusan gamis dengan motif kotak-kotak yang juga berwarna hijau. Di punggungnya ada tas berwarna merah jambu yang sudah sobek-sobek. Wanita itu adalah Ming Ming.
Ming Ming Sari Nuryanti, nama lengkap wanita itu. Panggilannya Ming Ming. Ia lahir di Jakarta, 28 April 1990 sebagai putri pertama dari tujuh bersaudara pasangan Syaepudin (45) dan Pujiyati (42). Syaepudin, ayahnya, adalah seorang karyawan di sebuah tempat hiburan di daerah Ancol, Jakarta Utara. Setiap hari ia mengumpulkan bola bowling yang ditinggalkan pengunjung. Sementara Pujiyati, ibunya, adalah seorang ibu rumah tangga sederhana yang juga memungut botol dan aqua gelas. Lisa, adiknya yang pertama, duduk di bangku kelas 3 SMU Negeri 1 Rumpin. Melati, adiknya yang kedua, duduk di bangku kelas 2 di SMU yang sama. Kenny, adiknya yang ketiga, duduk di bangku kelas 6 SD Sukajaya. Sementara tiga adiknya yang lain juga masih sekolah di sekolah yang sama. Romadon di kelas 5, Rohani di kelas 4 dan Mia di kelas 1.
Tahun 1994, Ming Ming dan keluarganya tinggal di sebuah rumah kontrakan tipe 26 yang sangat sederhana di Cengkareng, persisnya di daerah Kosambi. Kehidupan ekonomi keluarganya ketika itu sangat pas-pasan. Kedua orang tuanya berjualan rempeyek dari warung ke warung. Hasilnya hanya cukup untuk bisa makan dan bayar kontrakan. Tidak lebih. Untung saja Ming Ming belum sekolah sehingga beban keluarga tak bertambah. Apalagi kalau bukan karena usianya yang masih terlalu kecil. Masih 4 tahun. Hanya saja, gereget untuk sekolah sudah ada. “Dalam usia sedini itu saya merasakan semangat untuk sekolah, merasakan keinginan yang kuat untuk belajar,” ceritanya.
Karena keinginan yang besar itu, Ming Ming pernah meminta kedua orang tuanya untuk disekolahkan. Syaepudin dan Pujiyati tak berkeberatan. Mereka sadar betul akan arti pendidikan. Singkat cerita, Ming Ming didaftarkan ke SDN 02 Kosambi. Masalahnya, kepala sekolah merasa keberatan karena usianya belum cukup. “Karena ibu merasa kasihan melihat saya, ibu merayu kepala sekolah untuk bisa sekolah,” lanjutnya. “Rayuan” ibunya berhasil. Kepala sekolah mengangguk. Tetapi ada catatannya. Kalau dalam tempo tiga bulan ia tidak bisa, ia akan dikeluarkan. Jadilah Ming Ming sekolah. Sebulan lewat, tidak ada masalah. Demikian hingga bulan ketiga. Tak ada masalah. Ia justru bisa naik ke kelas 2 dengan hasil yang memuaskan.
Pindah ke Bogor. Saat Ming Ming beranjak kelas dua, Syaepudin, sang ayah, merasakan bahwa hidup di Kosambi ternyata sangat mahal dan ia merasa tidak akan mampu membiayai anak-anaknya untuk jangka kedepan jika ia terus berlama-lama tinggal di daerah Kosambi. Tanpa pikir panjang, Ming Ming dan keluarga memutuskan untuk pindah ke daerah Bogor dan meninggalkan usaha rempeyeknya. Usaha rempeyek pada saat itu sedang maju, tapi Syaepudin sangat yakin bahwa usaha itu tidak akan berkembang untuk ke depannya. “Pada saat itu ayah sudah memiliki modal,” terangnya. Tahun 1996 ia memulai kehidupannya di daerah Bogor, dan memulai usaha baru dengan membuka toko makanan kecil-kecilan.
Setahun berjalan, usaha itu bangkrut. Keluarga Ming Ming pun mengalami paceklik. Saat itu, makanan pokok yang sering dimakan adalah nasi yang hanya satu liter dan dijadikan bubur untuk makan sekeluarga agar bisa melanjutkan hidup. Hal itu berjalan selama lima tahun. “Kalau ayah benar-benar sedang seret, nggak punya uang, maka singkonglah makanan pokok kami. Itu pun kami dapatkan dengan cara meminta dari kebun orang lain,” kenangnya sambil berkaca-kaca.
Pada tahun 1999 terjadi krisis moneter. Syaepudin tidak memiliki uang sama sekali. Waktu itu Ming Ming berusia 8 tahun. Karena situasi yang sangat berat ini, Pujiyati yang sedang mengandung mesti bekerja keras untuk membantu perekonomian keluarga. Setiap siang ia berjalan kaki sejauh beberapa kilometer sambil membawa karung. Ia mengumpulkan botol-botol aqua gelas di desa lain. Menjelang Maghrib, baru ia kembali ke rumah. Tak hanya itu, Pujiyati dan anak-anaknya sering juga mendatangi desa-desa yang menggelar acara musik dangdut. Mereka membawa karung masing-masing untuk mengumpulkan botol-botol bekas air mineral yang ditinggalkan dan dibuang penonton. Ia dan anak-anaknya baru pulang ke rumah sekitar pukul 03.00 WIB. Tak hanya sekali, tetapi beberapa kali.
Selain memungut botol bekas air mineral, Pujiyati juga sering menimba air dari sumur yang letaknya agak jauh dari rumah. Tak jarang ia juga membawa beberapa ember pakaian dan mencucinya di kali desa Sukasirna, tak jauh dari rumahnya. Karena pekerjaan semacam itu dan tak adanya asupan gizi, Pujiyati kehilangan bayinya. Bayi kembarnya meninggal dunia beberapa saat setelah dilahirkan. “Betapa susahnya perjuangan kita pada saat itu,desahnya.
Syaepudin selalu memikirkan bagaimana caranya agar keluarga dapat makan dan tidak kelaparan. Setiap ada lahan untuk usaha, apapun bentuknya, asalkan halal selalu dilakoninya. Saat itu ia melihat ada dedaunan pisang, hal itu dijadikannya sebagai usaha untuk memperpanjang hidup. Daun-daun pisang itu ia kumpulkan dan bersihkan lalu dijual ke pasar. Hasilnya, bisa untuk makan sehari-hari. Krisis moneter pun berangsur-angsur pulih dan Ming Ming sekeluarga dapat makan nasi meskipun dengan lauk tempe.
Suatu hari, ada seorang teman Syaepudin datang ke rumah untuk berbincang-bincang. Ketika mengetahui kondisi keluarga Syaepudin, sang teman memberitahu bahwa gelas-gelas bekas air mineral itu dapat dijadikan uang jika dikumpulkan. Saat itu juga Syaepudin berembuk dengan seluruh keluarga dan memulai usaha baru yaitu mengumpulkan gelas dan botol-botol bekas air mineral. Hampir setiap hari keluarga mereka berbondong-bondong keluar sambil membawa karung dan memunguti gelas-gelas plastik bekas air mineral. Sekilo gelas-gelas plastik bekas air mineral, dihargai sebesar delapan ribu rupiah. Dalam sehari, Ming Ming bisa mengantongi gelas-gelas plastik bekas air mineral sebanyak satu karung beras atau seberat satu kilo.
Bisa Kuliah. Setelah tamat SMU, Ming Ming tidak pernah terfikir akan melanjutkan kuliah. “Dalam bayangan saja, nggak pernah terlintas bisa kuliah karena memikirkan uang yang berjuta-juta. Darimana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu, melihat saja tidak pernah,” ujarnya. Dalam kondisi seperti itu, beruntung Ming Ming mempunyai sosok ayah yang mementingkan arti sebuah pendidikan. Sebagai ayah, Syaepudin selalu memotivasi anak sulungnya untuk mencari ilmu. Bahkan ia yang mendorong agar anaknya tetap kuliah meski harus prihatin.
Tahun ajaran 2007-2008, Ming Ming memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi. Sang ayah menyarankan agar ia mengambil jurusan akuntansi di Universitas Pamulang, Tangerang, Banten. Dengan biaya Rp 900.000, Ming Ming bisa duduk di bangku kuliah. Beruntung ia mendapat keringanan sehingga biaya tersebut bisa dicicilnya, per bulan sebesar Rp 150.000. Bagi Ming Ming, uang sebesar itu merupakan uang yang sangat banyak. Jadi, apabila ia ingin kuliah maka ia pun harus bekerja keras siang dan malam.
Dalam sehari, Ming Ming hanya tidur beberapa jam saja. Di sela tidurnya, ia selalu menyempatkan diri untuk shalat tahajud, setelah itu ia langsung melakukan aktivitas pekerjaan rumah seperti mencuci dan menyapu. Tepat pukul 06.00 pagi, Ming Ming berangkat menuju kampusnya di Tangerang. Karena tidak ada bahan yang bisa dimasak untuk sarapan, maka Ming Ming sudah terbiasa menahan laparnya hingga ia pulang kuliah.
Berangkat dari rumahnya, Ming Ming harus berjalan kurang lebih sejauh 5 km melewati hutan belantara yang ditumbuhi pohon-pohon yang sangat besar. Karena tidak punya ongkos untuk naik bus luar kota, terpaksa ia harus menunggu lama menghadang truk yang lewat. Biasanya ia menumpang truk sampai perbatasan yaitu daerah Cicangkal yang jaraknya memakan waktu kurang lebih satu jam. Meski ia seorang perempuan dan memakai baju panjang, namun Ming Ming terlihat begitu lihai menaiki truk yang lumayan besar itu. Pertama-tama ia melempar terlebih dahulu gembolan karung yang dibawanya ke atas truk. Barulah kemudian ia naik dengan cara menaiki bannya terlebih dahulu dan lalu meniti lewat badan truk. Karena sudah terbiasa, Ming Ming tidak kesulitan ataupun takut terjatuh ketika naik di belakang truk yang tingginya bisa mencapai tiga kali tinggi tubuhnya.
Sampai di Cicangkal, Ming Ming memilih untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Disamping menghemat ongkos, hal tersebut juga dilakukannya untuk sekalian mencari botol-botol bekas ataupun gelas-gelas bekas minuman air mineral yang biasa dikumpulkannya. Sepanjang jalan, ia melihat ke kanan dan ke kiri berharap ada gelas-gelas plastik air mineral yang tergeletak. Tak jarang, saat memulung ia juga berpapasan dengan ibu ataupun adik-adiknya yang juga ikut memulung.
Setelah berjalan kira-kira 5 km, Ming Ming melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot berwarna putih-orange jurusan Serpong, ia pun selalu membayar dengan uang seadanya. Berkat keramahan dan kebaikan yang selalu terpancar dari wajahnya, Ming Ming hampir tidak pernah mendapatkan hal yang buruk. “Alhamdulillah, sampai detik ini saya belum pernah mengalami kejadian buruk selama di perjalanan,” tutur gadis yang memiliki hobi menulis dan membaca ini.
Jarang Makan Siang. Dari Serpong ia pun meneruskan perjalanan dengan menaiki kendaraan angkot menuju arah Ciputat hingga sampai ke kampusnya di Universitas Pamulang, Tangerang. Meski jarak dari rumahnya di Bogor hingga kampusnya di Tangerang lumayan jauh namun Ming Ming selalu masuk kelas dengan tepat waktu dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Perkuliahan biasanya dimulai pukul 10.00 atau 11.00 siang dan berakhir pada pukul 14.00 atau 16.00 sore. Saat jam istirahat (siang hari), Ming Ming hampir tidak pernah makan di kantin. Meski perutnya terasa keroncongan karena dari pagi belum makan, selalu ditahannya. Jam istirahat digunakannya untuk membaca buku-buku pelajaran di perpustakaan.
Selesai mengikuti perkuliahan, jika tidak ada kegiatan lain, Ming Ming biasanya langsung bergegas pulang. Seperti biasa, untuk menghemat ongkos, pulangnya pun ia menumpang truk yang lewat. Di sebuah rental komputer yang jaraknya sekitar 5 km lagi ke rumahnya, Ming Ming memutuskan untuk turun dari truk. Ming Ming biasanya mampir sebentar ke rental tersebut untuk belajar komputer. Kira-kira selama satu jam Ming Ming berada di dalam rental. “Itu saya lakukan kalau lagi ada uang,” tambahnya. Setelah itu barulah ia melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki dan tentu saja sambil memulung. Ia pun tak pernah lepas dari gembolan karung yang berisi botol-botol ataupun gelas-gelas plastik bekas minuman air mineral.
Tidak seperti layaknya pemulung lain, Ming Ming memiliki sikap yang sangat ramah terhadap siapapun. Sepanjang perjalanan, hampir semua warga yang ada di daerah itu mengenalnya. Tak jarang ia pun sering diminta untuk mampir. Tak jarang pula ada warga yang bertanya, “Untuk apa neng botol-botol bekas itu?” Gadis yang saat ini masih duduk di semester 2 itu pun menjawab, “Untuk biaya kuliah pak.”
Di tengah perjalanan, ketika panas dan rasa lelah sudah menghampiri seluruh tubuhnya, Ming Ming berhenti sejenak untuk menunggu kalau-kalau ada truk yang lewat agar ia tidak harus berjalan kaki. Sama seperti ketika berangkat, Ming Ming pun harus melewati hutan belantara dan jalan yang berkelok-kelok untuk bisa sampai di rumahnya. Biasanya, pukul 19.00 Ming Ming tiba di rumah yang hanya terdiri atas dua petak ruangan itu. Setelah berganti pakaian, Ming Ming memulai aktivitasnya untuk membersihkan botol-botol ataupun gelas-gelas hasil memulungnya hari itu.
Rumah yang ditinggalinya memang tidak layak untuk disebut sebagai rumah. Temboknya hanya terbuat dari bilik yang sudah bolong-bolong di beberapa bagian. Lantainya pun masih berupa tanah yang hanya dialasi koran. Belum lagi atap rumahnya yang hanya ditutupi oleh karung-karung bekas. Tak ada kamar mandi dan perabotan berarti di rumah tersebut.
Setelah membersihkan hasil memulungnya, malamnya Ming Ming harus menyetrika baju seluruh keluarga. Pukul 21.00 hingga 22.00, ia selalu sempatkan diri untuk belajar sebelum akhirnya tertidur dan terbangun pada pukul 02.00 atau 03.00 dini hari untuk shalat tahajud. Begitu seterusnya yang ia lakukan sehari-hari. Ming Ming berharap dengan perjuangan dan ridha Allah, ia bisa terus menuntut ilmu. Dengan ilmu, ia yakin bisa menggapai cita-citanya guna mewujudkan impiannya untuk mendirikan sekolah TK Islam Terpadu, bahkan kalau bisa hingga perguruan tinggi. Aimee
Side bar 1:
Hanya Setahun Sekali Bisa Mencicipi Daging Ayam

Bagi kebanyakan orang, daging ayam adalah makanan yang sangat umum. Namun tidak untuk Ming Ming. Daging ayam merupakan daging yang sangat istimewa. “Setiap satu tahun sekali, saya baru bisa merasakan daging ayam,” ungkapnya. Biasanya saat hari raya Idul Fitri ia baru bisa makan daging ayam, itupun di hari kedua Lebaran. Hari pertama Lebaran, setelah bersilaturahmi dengan tetangga-tetangga, Ming Ming dan keluarga langsung mengambil karung dan memulung botol-botol bekas air mineral. Bersama keluarganya pula Ming Ming berjalan sampai ke desa seberang di tengah teriknya matahari.
Ming Ming mengaku saat Lebaran adalah saat dimana keluarganya harus mengais rezeki sebanyak-banyaknya, karena pada saat itu banyak orang yang menggunakan minuman gelas-gelas praktis untuk menjamu tamunya. “Pada saat itu adalah kesempatan untuk berkeliling dan mencari gelas-gelas bekas minuman,” jelasnya. Pada Lebaran hari kedua, setelah keluarganya dapat mengumpulkan botol-botol ataupun gelas-gelas bekas minuman, sang ayah akan menjualnya dan bisa mendapatkan uang yang sangat lumayan. Uang tersebut diberikan kepada sang istri, Pujiyati, dan Pujiyati langsung bergegas ke pasar untuk membeli satu ekor ayam. Setelah sang ibu pulang dari pasar, Ming Ming dan adik-adiknya membantu memasak. Setelah ayamnya matang, Ming Ming sekeluarga berkumpul untuk makan dan mengucap syukur. “Walaupun hanya satu tahun sekali, kami sangat menikmatinya dan mensyukurinya,” ujar Ming Ming terharu. “Saat itulah merupakan anugerah terindah bagi keluarga kami,” tambahnya. Aimee

Side bar 2:

Mendoakan Orang yang Memandang Sinis Padanya

Setiap hari setelah selesai kuliah, Ming Ming memang harus berjalan kaki mencari botol-botol bekas. Meski sering dianggap remeh orang, namun Ming Ming selalu berusaha untuk tetap sabar. Pernah saat Ming Ming memulung di sebuah desa yang masih merupakan kecamatan Cicangkal. Saat itu ia dipanggil oleh seorang bapak-bapak yang tak dikenal. Bapak itu menyuruh agar Ming Ming mengambil gelas-gelas plastik yang ada di hadapannya. Tentu saja Ming Ming sangat berterima kasih. Namun ketika ia hendak memungut gelas-gelas itu, bapak yang menyuruh tadi langsung menendang gelas-gelas plastik tersebut. Ming Ming berusaha sabar. Namun, saat Ming Ming ingin mengambil gelas-gelas plastik itu untuk kedua kalinya, bapak tersebut kembali melakukan hal yang sama. Lalu dengan tegas Ming Ming berkata, “Seberapa berharga gelas-gelas plastik ini di mata bapak, mungkin bagi bapak itu tidak berharga, tapi bagi saya dan keluarga sangat berharga. Dari sini kami bisa makan dan bersekolah.” Kemudian bapak itu terdiam dan langsung meninggalkan Ming Ming. Dari situ Ming Ming berpikir bahwa pada suatu ketika ia harus tegas akan suatu hal yang disepelekan.
Awal masuk kampus, tidak ada satu pun teman yang mengetahui keadaan ekonomi keluarga Ming Ming. Tapi lama kelamaan karena terlalu sering telat bayar uang kuliah, akhirnya ada satu orang temannya yang tahu. Bahkan teman kampusnya itu juga pernah datang ke rumah Ming Ming. Awalnya Ming Ming takut akan dijauhi teman-temannya, namun setelah itu ia pun bersyukur karena justru banyak teman-teman yang membantu dan mensuport kegiatannya, meski tidak bisa juga dipungkiri ada beberapa teman yang menganggap bahwa pekerjaan memulung adalah pekerjaan yang hina. Tapi Ming Ming tidak menghiraukannya, dan bahkan mendoakan yang terbaik untuk temannya itu. Aimee

Side bar 3:

Mendapat Peringkat Meski Harus Bekerja Keras

Hari-harinya yang harus selalu diisi dengan bekerja dan bekerja, tidak lantas memberikan dampak negatif bagi nilai akademiknya. Kedisiplinan yang ia miliki, membuat segalanya bisa terencana. Pembagian waktu belajar pun telah ia susun secara terperinci. Meski ia tidak memiliki buku dan hanya meminjam dari teman-temannya, namun ia selalu meluangkan waktunya untuk membaca. “Saya cuma bisa beli buku loakan yang harganya Rp 3000, itu pun sangat jarang,” ungkap Ming Ming.
Ketika ia tidak sempat belajar karena harus memungut botol-botol bekas, ia tidak membiarkan waktu itu berlalu begitu saja. Ia selalu menyempatkan diri membaca buku pelajaran sambil berjalan. Misalnya, membaca di dalam angkutan kota. Kadang juga ia baca sebelum dosen masuk kelas.
Semangat dalam menjalani hidup, membuat prestasinya tidak terhalang. Dari SD hingga SMU, Ming Ming selalu mendapatkan peringkat tiga besar. Bahkan ia juga memiliki prestasi di luar pendidikan formalnya. Pada tahun 2007 sebelum ia meninggalkan bangku SMU, ia pernah mendapat juara lomba puisi. Saat itu ia mendapat juara ke 2. Ia pun masuk dalam sepuluh besar lomba membawakan berita. “Saat itu adalah tepat hari bahasa,” terangnya.
Menurut kepala jurusan Akuntansi Universitas Pamulang, Endang Rukhiat, SE., MM., Ming Ming merupakan anak yang penuh semangat dalam belajar. “Ia pun termasuk ke dalam peringkat 10 besar dari seluruh mahasiswa jurusan akuntansi,” ujarnya. Aimee

Sidebar 4:
Ustadz Ahmad Al-Habsy, Penceramah

Ming Ming bisa dikatakan sedang berjihad”

Apabila seseorang yang mencari ilmu dan mencari nafkah dengan jalan memulung berarti orang itu sudah bisa dikatakan jihad. Orang yang memulung lebih baik bila dibandingkan dengan orang yang suka menggantungkan hidup kepada orang lain. Terkadang manusia menganggap bahwa pekerjaan memulung itu rendah, padahal di mata Allah itu belum tentu. Justru orang yang mulia adalah orang yang mau bekerja keras dan mencari ilmu setinggi-tingginya.
Ada hadist yang mengatakan, “Orang yang menggantungkan diri dengan orang lain maka di akhirat kelak akan dibangunkan jasadnya hanya tulang tanpa kulit.” Diantara sifat-sifat pemulung terdapat kisah, ada seseorang yang setiap hari pekerjaannya membersihkan duri yang ada di jalanan namun karena kerja keras dan semangatnya maka ia pun menjadi orang yang sukses. Allah menjanjikan, “Likulli mujtahid nafsibun.” Setiap orang yang mau bekerja keras dan dia bersungguh-sungguh maka seseorang itu akan diberikan jaminan dari Allah berupa kesuksesan yang tidak pernah diduga-duga sebelumnya. Aimee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar