Senin, 07 Juli 2014

Tarawih! Tarawih! Jangan lupa witirnya juga!

Tarawih! Tarawih! Jangan lupa witirnya juga!

Alhamdulillah malam ini kita akan memasuki bulan Ramadhan, ketika pintu surga di buka, pintu neraka ditutup, dan syaitan dibelenggu.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang tarawih, saya ingin mereview saja.
.
1. Sholat malam di bulan Ramadhan (biasa disebut tarawih+witir) dengan jumlah yang tidak dibatasi. Boleh ikut 11 Rokaat, atau 23 rokaat, 41, atau yang lain. Asal tuma’ninah. (saya sering dengar sholat tarawih yang 23 rokaat itu gedebug2 saking cepatnya. Yang ini saya khawatir tidak sah, sebab, tuma’ninah itu termasuk rukun sholat. Rugi kalo rokaatnya banyak tetapi tidak sah). Rasulullah biasanya 11 rokaat.

2. Sholat malam, afdholnya dikerjakan dirumah (tidak di masjid), ini bagi yang punya banyak hafalan quran.

3. Bagi yang hafalannya sedikit, maka lebih baik sholat berjamaah di masjid. Afdhol juga yang punya hafalan banyak dan bacaannya bagus, mengimami di masjid.


4. Kalau ingin mendapat pahala sholat semalam suntuk, maka ikutilah imam sampai selesai witir. Karena ada beberapa makmum yang tidak ikut sholat witirnya imam karena mau melanjutkan sholat sendiri di rumah. Ini kurang tepat sebenarnya. Karena dengan tidak mengikuti witirnya imam, ia telah meninggalkan keutamaan yang besar, yakni pahala sholat semalam suntuk.

5. Witir memang sunnahnya dikerjakan sebagai penutup sholat malam, namun boleh juga dikerjakan di awalnya. Jadi tidak masalah bila ikut witirnya imam, lalu di malam harinya melanjutkan lagi untuk sholat malam, namun tidak perlu witir lagi, karena witir hanya dilakukan sekali saja.

Para shahabat dulu kalau sholat di masjid, yang dibaca adalah bacaan yang panjang-panjaaang, sampai-sampai di antara mereka ada yang bawa tongkat untuk menjaga agar mereka tetap kuat dan tidak jatuh karena panjangnya shalat. Namun demikian, mereka tetap semangat. Pantas saja Allah ridho kepada mereka.

Hmmm, bagaimana ya jika di sini diterapkan seperti itu.....????

Kalau jadi imam, lihat-lihat kondisi makmumnya, kalo makmumnya terbiasa seperti itu, ya silakan saja, intinya jangan sampai menyusahkan mereka. Karena ada celaan juga bagi imam yang membuat susah makmum dengan panjangnya sholat. Khawatirnya mereka tidak mau sholat lagi karena kapok....

Biasanya juga ada imam yang bawa mushaf waktu mengimami, yang ini boleh2 saja, asalkan ketika rukuk dan sujud, mushafnya diletakkan.

Demikian sedikit review, mudah2an lebih memantapkan sholat malam kita.

oleh Aang Yulius Prihatmoko

Jumat, 30 Mei 2014

PAHALA BESAR BAGI MUADZDZIN

PAHALA BESAR BAGI MUADZDZIN

 
1. Pahalanya besar!

روى البَرَاء بن عازب رضي الله عنه «أنَّ نبي الله - صلى الله عليه وسلم - قال ... والمُؤذن يُغفرُ له مدَّ صوته، ويصدِّقه مَن سمعه من رطبٍ ويابس، وله مثل أجر من صلى معه» رواه أحمد والنَّسائي.


Al-Barra' meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, ".....Muadzdzin akan diampuni dosanya sepanjang suaranya, dan membenarkannya siapa saja yang mendengarnya baik yang basah maupun yang kering, dan ia mendapat pahala seperti orang yang sholat bersamanya."


Bayangin aja, sudah diampuni dosanya, dapet pahala seperti pahala orang yang sholat bareng dia lagi.... kalo yang dateng 10 orang gimana? kalo 30? atau 100? wah,....

 
2. Harus baguskah suaranya sambil meliuk-liukkan suaranya gitu?
 
Ternyata enggak kayak gitu.


رَوَى الدَّارَقُطْنِيّ ، بِإِسْنَادِهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ { كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤَذِّنٌ يُطْرِبُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إنَّ الْأَذَانَ سَهْلٌ سَمْحٌ ، فَإِنْ كَانَ أَذَانُك سَهْلًا سَمْحًا ، وَإِلَّا فَلَا تُؤَذِّنْ }


Ad-daruquthni meriwayatkan dari ibnu abbas, 'Rasulullah punya seorang muadzzin yang bersenandung dalam adzannya, kemudian rasul berkata, 'sesungguhnya adzan itu mudah n ringan, kalo adzanmu mudah dan ringan, adzanlah, kalo tidak, jangan adzan.'"


Jadi ga usah minder kalo memang kamu ga bakat nyanyi, yang pentin pelafadannya benar, itu sudah cukup.


wallahu a'lam

Oleh:Ustadz Tunggulwulung

Rabu, 07 Mei 2014

Menginternalisasikan Sikap Ihsan

Menginternalisasikan Sikap Ihsan

Jika kamu sendirian, maka jagalah hatimu. Jika kamu di tengah orang-orang, maka jagalah lisanmu. Jika kamu dihadapan meja makan, maka jagalah perutmu. Jika kamu di jalanan, maka jagalah matamu. Sebab Allah melihatmu.

Seorang saleh dari kalangan thabi’in, Sahal bin Abdullah Tasatturi menceritakan salah satu pengalaman penting dalam hidupnya. Saat berusia tiga tahun, ia melihat pamannya Muhammad bin Suwar melaksanakan shalat. Setelah selesai, sang paman bertanya, "Tidakkah engkau berzikir kepada Allah yang menciptakanmu?" Sahal balik bertanya, "Bagaimana caranya?

Muhammad bin Suwar kemudian menjelaskan, "Katakanlah dengan hatimu:
‘Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku.’ Katakan hal itu sebanyak tiga kali tanpa menggerakkan lisan, ketika engkau hendak tidur."

Ia kemudian melaksanakan nasihat itu selama beberapa malam. Setelah itu, Sahal memberitahukannya kepada Muhammad bin Suwar. "Lakukan hal itu tujuh kali dalam satu malam," pinta pamannya kembali. Nasihat itu pun dijalankan Sahal dengan sungguh-sungguh. Pamannya kemudian memintanya menambah zikir tersebut menjadi sebelas kali. "Saat saya melakukan hal itu selama satu tahun lamanya, pamanku berkata, ‘Hapalkan apa yang telah aku ajarkan dan lakukanlah itu selalu sampai engkau masuk ke liang kubur. Kata-kata itu akan bermanfaat bagimu di dunia dan akhirat. Wahai Sahal
barangsiapa merasakan Allah bersamanya, Allah melihatnya dan Allah menyaksikannya, apakah ia akan melakukan maksiat kepada-Nya?

Apa yang diajarkan Muhammad bin Suwar kepada Sahal Tasatturi, keponakannya, terbilang sederhana. Yaitu menggunakan metode pengulangan (repetitive). Menyebutkan suatu hal secara berulang-ulang, melalui lisan, pikiran dan hati sekaligus, akan menjadikan kalimat-kalimat tersebut tertanam kuat di alam bawah sadar. Bila terus diulang dalam jangka waktu lama maknanya akan mendarah daging dan akhirnya menjadi kekuatan dahsyat yang akan mengendalikan tingkah laku. Para ahli menyebutnya sebagai repetitive magic power.

Dalam "teori otak", bila sebuah informasi diulang-ulang maka pertautan antar sel-sel (neuron) di otak akan semakin kuat. Sel-sel syaraf yang semakin banyak dan kuat, akan memperkuat pengetahuan yang dimiliki seseorang. Kekuatan pengetahuan itu terletak pada keluasan wawasan dan kebijaksaaan yang semakin kuat dan meningkat. Seseorang yang bermujahadah (bersungguh-sungguh) sejak masa mudanya, untuk menguasai sebuah ilmu atau perbuatan, biasanya akan memiliki kebijaksanaan dan keyakinan diri yang kuat pada masa tuanya. Inilah yang terjadi pada Sahal Tasatturi. Ia
terkenal sebagai seorang sosok yang sangat zuhud dan sangat takut kepada Allah.

Mengingat nama Allah (dzikrullah ), adalah sarana efektif untuk menjernihkan hati. Andai dilakukan secara istikamah akan menjadikan seorang hamba selalu merasa ditatap oleh Al-Khaliq. Inilah yang terpenting, sebagai esensi keimanan dan puncak kecintaan seorang hamba kepada Allah. Bukankah hal yang paling berkesan adalah hal yang paling diingat?Tidak ada yang paling diingat oleh seorang pecinta, selain yang dicintainya. Dan tahukah bahwa mencintai dan dicintai Allah adalah anugerah terbesar bagi seorang Muslim. Kisah-kisah legendaris dari para sufi besar, seperti
Al-Ghazali, Fudhail bin Iyadh, Ibrahim bin Adham, Junaid Al-Baghdadi ataupun Rabi’ah Al-Adawiyah banyak menginspirasikan hal tersebut.

Rasulullah SAW pun pernah bertanya kepada para sahabat, Maukah kuberitahukan kepada kalian tentang amalan yang paling baik, paling suci dalam pandangan Tuhan kalian, mengangkat tinggi derajat orang-orang yang mengamalkannya, dan tak kalah bernilai daripada menafkahkan emas dan perak, bahkan tidak kalah utama dibanding bertemu dengan musuh di medan perang kemudian kalian saling berperang dan mati syahid?" Mereka menjawab, "Tentu, wahai Rasulullah! Kami sangat ingin diberi tahu". Rasulullah menjawab, "Berzikirlah kepada Allah." (HR Tirmidzi, Ahmad, dan Hakim).

Dalam konteks hubungan dengan Allah, zikir yang intens dilakukan akan melahirkan sikap ihsan. Menurut Rasulullah SAW ihsan adalah menyembah Allah seakan-akan kita melihat-Nya. Jika kita tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kita (HR Muslim) .

Saat seseorang sudah ihsan, dalam arti selalu merasa dilihat Allah, maka dalam kondisi apapun ia akan malu bermaksiat kepada Allah. Lebih jauh, ia pun akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Tuhannya. Tak masalah apakah itu dalam kesendirian atau di tengah banyak orang. Saat berada dalam kesendirian, ia tetap merasa ramai. Betapa tidak, Allah senantiasa hadir dan dekat dengan dirinya. Sebaliknya, saat berada dalam hiruk pikuk keramaian, ia justru merasa "sepi". Sebab pandangan Allah tidak pernah luput darinya.

Kisah anak gembala dengan Umar bin Khathab adalah gambaran indah tentang kekuatan ihsan. Saat itu Umar membujuk si anak gembala untuk menjual satu dari ratusan kambing milik majikannya yang ia gembalakan. Apa yang dikatakan anak gembala tersebut, Fa’ainallah? Kalau begitu di manakah Allah? Saya bisa membohongi majikan saya, namun saya tidak mungkin membohongi Allah. Dia selalu melihat apa yang saya lakukan!" Demikian luar biasa orang-orang yang sadar bahwa setiap gerak langkahnya merasa ditatap dan diperhatikan Allah.

Ada sebuah pesan yang layak kita renungkan, "Jika kamu sendirian, maka jagalah hatimu. Jika kamu di tengah orang-orang, maka jagalah lisanmu. Jika kamu dihadapan meja makan, maka jagalah perutmu. Jika kamu di jalanan, maka jagalah matamu. Sebab Allah melihatmu." Wallaahu a’lam

Catatan buat Para Pengemban Da’wah tentang Percaya Diri

Catatan buat Para Pengemban Da’wah tentang Percaya Diri

PeDe: Takut hanya kepada Allah swt semata!
Masalah yang satu ini emang nggak ada habis-habisnya, karena hampir dialami oleh kebanyakan orang atau mungkin semua orang! PD melibatkan banyak hal dari hidup kita, mulai dari belajar sampai memimpin. Oleh karena itu, bisa dibilang kalo orang yang kurang PD rata-rata akan kehilangan 70% dari makna hidupnya. PD juga bisa mempunyai rumus turunan (derivat) (kayak matematik aja ya hehehe) seperti rasa pesimisme, utopis, dan malu tidak pada tempatnya, serta masih banyak lagi yang akhirnya akan merugikan orang yang bersangkutan itu sendiri, nah karena itulah mengapa masalah ini cukup urgent untuk dibahas karena, mau tak mau, suka tak suka kita akan banyak berinteraksi dengan masyarakat.

Penyebab utama seorang anak manusia menjadi tidak PD adalah karena merasa kemampuan yang dimilikinya ‘relatif’ kurang dibandingkan sekelilingnya atau saingannya, atau merasa tak pantas melakukan sesuatu , merasa malu, takut bila semuanya tidak berjalan sebagaimana mestinya dll, dan banyak pertanyaan seperti “kalo salah ntar gimana yah…..?”, “bisa nggak ya…?”, “apa aku pantas….?” Atau pernyataan seperti “aku mau melakukanya, tapi ini bukan saat yang tepat…” atau “ah, masih ada kesempatan lain” dan lain-lainya yang pada intinya seorang yang tidak PD akan selalu merasa dirinya ‘tidak selevel, atau tidak akan bisa seperti itu’. Lalu, bagaimana caranya mengatasi krisis tersebut secara positif?

Saya sering mengibaratkan diri saya sendiri dengan seorang pemburu. Seorang pemburu akan mempersiapkan segala macam yang diperlukanya untuk berburu sebelum ia pergi, dengan kata lain, agar kita menjadi Percaya diri dalam mengerjakan sesuatu, maka persiapan kita pun harus matang terlebih dahulu. Persiapan ini menyangkut segala bentuk segi, misalnya seorang pemburu akan menentukan target terlebih dahulu, binatang apa yang ingin diburunya, lalu mencari tahu tentang hewan buruanya itu, mulai dari kelebihanya, kekuranganya, tempat hidupnya, kebiasaanya, makananya, kelemahanya, kekuatanya, kecepatan larinya, dan segala macam informasi yang lainya. Selain mencari tahu tentang buruan, ia juga akan senantiasa menyiapkan senjatanya, memilih peluru yang digunakan, berapa jauh jangkauanya, seberapa kuat tolakanya, seberapa kuat bunyinya dan hal-hal lain yang juga bisa berpengaruh terhadap pemburuanya itu, tak lupa ia juga melatih dirinya sendiri agar siap memburu buruanya, tahu apa kelebihanya, kekuranganya, ketelitian, kecerobohan, serta hal-hal yang lainya. Selain itu ia sendiri haruslah yakin bahwa yang dilakukanya adalah hal yang benar dan tidak menimbulkan kerugian, baik pada dirinya dan bagi orang lain.

Melalui pedoman si pemburu tadi, maka ada beberapa tips yang bisa saya bagikan kepada oknum-oknum yang sedang tidak percaya diri…

Sebagai seorang muslim, saya menganalisis bahwa salah satu penghambat dakwah islam adalah karena ketidak PD an hamlud da’wah, karena itu tulisan saya sekali ini lebih menitikberatkan bagaimana tips agar PD dalam berdakwah. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan ke hal-hal yang lainya

1. Agar PD dalam berda’wah pertama kali kita harus paham apakah sesuatu yang kita lakukan/dakwahkan adalah sesuatu yang benar, tidak mungkin anda bisa meyakinkan seseorang atau menyukseskan suatu pekerjaan bila anda sendiri tidak yakin atau tidak tahu apakah hal itu benar ataukah salah. Oleh karena itu keyakinan atas sesuatu itu menjadi hal yang sangat urgent, yakinlah bila kita yakin pada sesuatu kita akan lebih PD.

2. Sebagai seorang muslim, standar halal haram kita adalah hukum syara’, dalam berbuat apapun, motivasi kita yang pertama haruslah diniatkan ikhlas karena memenuhi seruan dari Allah SWT, bukan karena hal-hal lain. Misalnya, motivasi utama kita tidak berzina bukan karena malu, tapi karena ada larangan dari Allah SWT, malu harusnya menjadi motivasi ke sekian. Motivasi utama kita belajar harusnya bukanlah untuk bekerja atau memenuhi tuntutan ayah ibu, tetapi haruslah karena diseru Allah untuk mlakukanya, jadi kita harus menjadikan ridho Allah SWT sebagai tujuan segala aktivitas kita. Selain niat, caranya pun harus benar, karena syarat-syarat amal yang baik (ihsanul amal) adalah niat dan cara yang benar.

3. Bertolak belakang dari keyakinan yang pasti 100% (tashdiqul jazm) kita terhadap Islam, dan yakinya kita bahwa Islam pasti benar dan kebenaran hanyalah milik islam semata, maka seharusnya seorang muslim tidak kurang PD dalam menjalankan aktivitas-aktivitas yang memang diserukan, karena kita melakukanya bukan untuk dilihat, dipuji ataupun untuka apa-apa dan siapa-siapa, tapi untuk Allah semata! Dan yakinlah, segala macam usaha kita, asal niat dan caranya benar, berhasil atau tidak aktivitas itu, sukses atau gagalnya akan mendapatkan nilai di mata Allah SWT. Lalu jika kita yakin bahwa apa yang kita lakukan adalah benar, lantas apalagi yang perlu ditakutkan?

4. Takut dan malu adalah perasaan fitrah dari diri manusia, setiap orang memiliki rasa takut karena ia termasuk potensi manusia, yaitu naluri-naluri (al-ghara’iz) sehingga menghilangkan rasa takut dari diri manusia adalah hal yang tidak mungkin, yang mungkin adalah menyalurkanya dan membuatnya tidak terlihat atau meminimalisir rasa takut itu dengan meyakinkan diri, terkadang kita malu untuk ‘tampil’ karena merasa kita bukan seorang pemberani (penakut) atau seorang pemalu. Hal pertama yang ingin saya tegaskan disini adalah, malu dan takut itu harusnya perasaan kita ketika melanggar hukum-hukum syara, malu dan takut itu harusnya muncul ketika kita sedang mengerjakan kemaksiatan, dengan kata lain, dalam mengerjakan perintah atau seruan dari syara kita harusnya tidak boleh merasa malu atapun takut, karena kita melaksanakan perintah dari pencipta kita, pencipta langit dan bumi, pencipta segala yang ada di alam semesta dan segala keteraturanya! Jadi tidak ada cerita bila kita malu ataupun takut menjalankan perintah atau seruan-Nya, termasuk dalam hal berdakwah dan lain-lainya.

5. Manusia adalah makhluk yang lemah dan sangat terbatas, bahkan segala sesuatu yang ada di dunia inipun memiliki batasanya, contohnya, manusia suatui saat pasti akan mati, dia tak kuasa untuk memajukan atau memundurkan ajal itu barang sesaatpun, manusia juga tidak tahu kapan ajalnya akan menjemput, apakah ketika sholat, apakah ketika belajar, ataupun ketika sedang melakukan maksiat. Yang ingin saya tegaskan disinai adalah, wajar bila manusia itu memiliki kelemahan, itulah hakikat seorang manusia! Dan menurut saya, lebih baik kita menonjolkan kelebihan kita, dan sementara itu memperbaiki kekurangan kita. Hal yang sama berlaku pada orang-orang disekitar kita, saingan kita, teman dan lainya. Mereka juga pasti tidak lepas dari kelemahan dan keterbatasan, sehingga tidak perlu bagi kita untuk merasa kitalah yang paling tidak sempurna, sedangkan mereka jauh lebih baik daripada kita. Jauhkanlah pertanyaan-pernyataan seperti “Kayaknya dia lebih baik daripada saya, saya tidak punya harapan…” itu adalah logika yang salah. Harusnya "Kalau dia juga bisa, kenapa saya tidak?!"

6. Cara mengatasi rasa takut dam malu, selain dengan meyakini apa yang dilakukan, juga bisa dengan cara membiasakan diri dengan ketakutan dan rasa malu itu, jadi seorang yang ingin berhasil dalam sesuatu yang kurang PD nya dalam hal itu tidaklah boleh mundur, karena jika dia tidak pernah mencoba, niscaya tidak akan ada perubahan di dalam dirinya, Allah berfirman “Sesungguhnya Allah tidk akn merubah apa yang ada dalam suatu kaum sampai mereka merubahnya sendiri” sehingga, walaupun takut, walaupun gemetar, walaupun hasilnya kurang baik, tetap hal-hal tersebut harus dilaksanakan, Insyaallah setelah beberapa kali melakukanya semua akan terlihat lebih baik, lebih enak dan lebih tenang. Orang-orang yang paling sukses atau paling percaya diri sekalipun pasti pada awalnya merasa tidak PD, tetapi bedanya dengan orang yang gagal adalah, ketika dia takut maka ia akan mengalahkan ketakutanya itu, bukan tunduk kepadanya.

7. Melihat dari awal perjalanan hidup kita, kita sadar bahwa pada proses penciptaan kita telah terjadi suatu hal yang luar biasa, dalam banyak firmanya Allah SWT telah memberitakan bahwa kita berasal dari mani yang dipancarkan, Ketika seorang suami melakukan (maaf) hubungan badan dengan istrinya maka rata-rata sperma yang keluar pada waktu itu adalah sekitar 500.000.000 (lima ratus juta!) dan sperma-sperma ini bersaing satu sama lain untuk mendapatkan satu sel telur (ovum), jadi dulunya sperma yang akan menjadi kita itu bersaing dengan 499.999.999 sperma lain, atau saingan kita dahulu kala mencapai angka tersebut, sekarang berapakah saingan kita? 10, 40, 100, 1000? Kenapa kita tidak PD bersaing dengan jumlah yang sedikit ini, padahal dulunya kita adalah pemenang dari antara 500.000.000 peserta hehehehehe… jadi nggak ada alasan bagi kita untuk tidak PD dalam bersaing yang sehat! Selain itu, kalian-kalian semua adalah ciptaan-ciptaan sempuna yang khusus, unik dan tiada duanya, yang dihasilkan dari sperma terbaik! Bisakah anda bayangkan bila bukan sperma yang terkuat yang membuiahi sel telur itu, apakah kita akan seperti ini? saya rasa tidak, karena dalam perjalananya menuju sel telur adalah proses seleksi sperma dan yang terbaiklah yang akan mampu, sehingga kita semua adalah benih-benih terbaik!

8. Hal yang terakhir adalah, kita, sebagai manusia yang selalu merasa rendah adalah hal yang wajar, tetapi akan sangat bagus bila perasaan itu dipadukan dengan akal dan ditempatkan di tempat yang seharusnya, untuk mencapai ketenangan hidup, kepuasan hidup dan kebahagiaan hidup, kita tidak boleh hanya membandingkan diri dengan orang yang lebih ‘atas’ tetapi haruslah juga kita melihat ke ‘bawah’ betapa masih banyaknya orang yang lebih tidak beruntung daripada kita, tetapi orang yang di ‘atas’ juga bisa dijadikan contoh.

Tulisan ini adalah karangan manusia, belumlah final, jadi perlu pengembangan pemikiran dari pembacanya, semoga tulisan ini dapat membantu perjuangan da’wah kita semata hanya untuk Allah Ta’ala, semoga bermanfaat

Felix Siauw
Islamic Inspirator

APA ITU ULUL ALBAAB???

APA ITU ULUL ALBAAB???

Ulul albab adalah orang yang mampu mengharmonisasikan kekuatan intelektual dan spiritual

1. Selalu mambekali diri dengan takwa

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

( QS. 2 : 197 )

2. Mampu mengambil hikmah/pelajaran dari firman-firman Allah

Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

( QS. 2 : 269 )

3. Selalu mencermati fenomena


Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, Maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi Kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, Kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.

( QS. 39 : 21 )

4. Mampu memadukan kekuatan akal dan qalbu

190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.

( QS. 3 : 190 – 191 )

5. Sangat yakin akan adanya kehidupan akhirat, karena itu selalu mohon perlindungan pada Nya

192. Ya Tuhan kami, Sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, Maka sungguh Telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.

193. Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.

194. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang Telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji."

( QS. 3 : 192 – 194 )

6. Mampu memisahkan yang baik dan yang buruk walau yang buruk amat menarik

Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."

( QS. 5 : 100 )

7. Mampu mengambil pelajaran dari perjalanan hidup dirinya atau orang lain


Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

( QS. 12 : 111 )

8. Rajin shalat malam

(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

( QS. 39 : 9 )

9. Kritis dalam menilai suatu pemikiran

Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.

( QS. 39 : 18 )

10. Menjadikan Al Qur’an sebgai kitab suci pencerahan


(Al Quran) Ini adalah penjelasan yang Sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.

( QS. 14 : 52 )

Urgensi Shalat Dalam Islam

Urgensi Shalat Dalam Islam

Oleh: Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Lukman Hafizhahullah

Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan umat islam melaksanakan sholat lima waktu. Setiap muslim pasti mengetahui kewajiban ini, karena sholat merupakan rukun islam kedua dan tiangnya agama.
Keislaman seseorang tak akan tegak kecuali dengan sholat. Jika demikian masalahnya, mengapa masih banyak di antara orang-orang yang mengaku Islam, namun masih menyepelekan bahkan meninggalkan shalat!!?

Shalat mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Tidak ada satu ibadah pun yang bisa menandinginya. Hal tersebut karena shalat adalah:

1. Tiangnya agama
Tidak akan tegak agama Islam kecuali dengan shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رأس الأمر الاسلام وعموده الصلاة وذروة سنامه الجهاد

 “Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah sholat dan puncaknya adalah jihad.” [1]

2. Kewajiban yang abadi
Kewajiban shalat tidak gugur selama akal masih ada, walaupun dalam keadaan mencekam. Allah عز و جل berfirman:
حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ   فَإنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنتُمْ فَاذْكُرُواْ اللّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat Wustso. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” [QS.al-Baqarah/2:238-239]

3. Ibadah yang pertama kali dihisab
Shalat merupakan ibadah yang pertama kali ditanyakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة الصلاة فإن صلحت صلح له سائر عمله وإن فسدت فسد سائر عمله

“Pertama kali yang akan dihisab pada hari kiamat dari seorang hamba adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka baik pula seluruh amalannya, jika jelek maka jelek pula seluruh amalannya.” [2]

4. Akhir perkara yang akan hilang dari agama Islam
Apabila shalat telah hilang, maka hilang pula agama Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لينقضن عرى الاسلام عروة فكلما انتقضت عروةٌ تشبث الناس بالتي تليها وأولهن نقضاً الحكم وآخرهن الصلاة

“Akan terlepas tali Islam seutas demi seutas. Acap kali satu tali Islam terlepas, maka manusia akan berpegang dengan tali berikutnya. Yang pertama kali akan terlepas dari Islam ini adalah hukum dan yang terakhir shalat.” [5]

5. Wasiat terakhir Nabi kepada umat
Wasiat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya sebelum beliau wafat adalah shalat. Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu berkata:
كان آخر كلام رسول الله صلى الله عليه وسلم الصلاة الصلاة …اتقوا الله فيما ملكت ايمانكم

“Adalah ucapan terakhir yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Shalat..shalat..dan takut lah kepada Allah dari budak-budak yang kalian miliki.” [4]

HUKUMNYA

Tidak diragukan lagi bahwa shalat hukumnya wajib. Berdasarkan nash al-Qur’an, Hadits dan kesepakatan ulama. Kewajiban ini bagi seluruh kaum muslimin yang telah baligh, kecuali wanita yang sedang haid atau nifas. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” [QS.an-Nisa'/4:103]

Adapun dalil dari Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya hadits dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya pergi ke Yaman, beliau bersabda:
فأعلمهم أن الله قدافترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة

“Ajarkanlah mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu setiap hari dan malam.” [HR.al-Bukhari:1395 dan Muslim:29]

Dan umat ini pun telah sepakat akan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam.[5]

Barangsiapa yang mengingkari kewajiban shalat ini, maka dia telah keluar dari agama Islam alias kafir tanpa ada keraguan karena dia telah mendustakan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Imam Qodhi Iyadh rahimahullah berkata: “Demikian pula kita dapat memastikan kekafiran orang yang mendustakan dan mengingkari pondasi dari pondasi-pondasi agama, dan apa yang telah diketahui dengan yakin melalui dalil yang mutawatir berupa perbuatan rosul atau adanya ijma’, seperti orang yang mengingkari kewajiban shalat atau mengingkari jumlah raka’at dan sujudnya.” [6]

HIKMAH DAN RAHASIA SHOLAT

Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata: “Shalat itu diwajibkan dalam bentuk yang paling sempurna dan paling bagus, sehingga menjadi perantara seorang hamba kepada Robbnya. Di dalam shalat terkandung pengagungan kepada Allah dengan seluruh anggota badan. Ucapan lisan, perbuatan kedua tangan dan kaki, kepala dan indera peraba dan seluruh bagian badan. Semuanya mengambil hikmah dalam ibadah yang agung ini. Di dalam shalat juga ada tahmid, tasbih dan takbir, persaksian yang benar dan berdiri di hadapan Sang Pencipta dengan status hamba yang rendah dan tunduk. Ketundukan ini dapat terlihat dengan ucapan orang yang shalat, punggung yang membungkuk sebagai tanda kerendahan dan khusyuk kepada Allah. Kemudian bangkit dari ruku’ sebagai persiapan untuk lebih tunduk lagi pada posisi berikutnya yaitu sujud. Maka dalam sujud dia meletakkan bagian tubuhnya yang mulia di atas tanah, ini sebagai bentuk ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah.”[7]

KEUTAMAAN DAN MANFAAT MENGERJAKAN SHOLAT
1. Mencegah Perbuatan Keji dan Munkar
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ

“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” [QS.al-Ankabut/29:45]

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat memerintahkan kepada yang ma’ruf dan tidak bisa mencegah dari yang munkar, maka tidaklah shalat melainkan menjadikan bertambah jauh kepada Allah.”[8]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari ayat diatas: “Dalam shalat terkandung dua perkara yaitu meninggalkan perbuatan keji dan perbuatan mungkar. Sesungguhnya menekuni shalat akan membawa untuk meninggalkan perbuatan tersebut.”[9]

2. Penghapus Dosa dan Kesalahan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مثل الصلوات الخمس كمثل نهر جار غمرٍ على باب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات

“Permisalan shalat lima waktu bagaikan sungai mengalir yang banyak airnya, berada di depan pintu salah seorang di antara kalian. Dia akan mandi di dalamnya sebanyak lima kali dalam sehari.” [HR.Muslim: 668]

3. Cahaya di Dunia dan Akhirat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من حافظ عليها كانت له نوراً وبرهاناً ونجاةً يوم القيامة ومن لم يحافظ عليها لم يكن له نور ولا برهان ولا نجاةٌ وكان يوم القيامة مع قارون وفرعون وهامان وأبي بن خلف

“Barangsiapa yang menjaga shalat, maka baginya cahaya, dalil dan keselamatan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang tidak menjaganya, maka dia tidak memiliki cahaya, dalil dan ke selamatan. Dia pada hari kiamat akan berkumpul bersama Qorun, Fir’aun, Haman dan Ubay bin Kholaf.”[10]

4. Pahala dan Meninggikan Derajat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من تطهر في بيته ثم مشى إلى بيتٍ من بيوت الله ليقضي فريضة من فرائض الله كانت خطوتاه إحداهما تحط خطيئةً والاخرى ترفع درجةً

“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berangkat ke rumah Allah untuk menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkah kakinya: satu langkah menghapus kesalahan dan yang lainnya meninggikan derajat.” [HR.Muslim: 666]

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Sesungguhnya shalat itu bisa menghapus kejelekan bagi orang yang menunaikan hak-hak shalat, dia menyempurnakan kekhusyukan shalat. Dia berdiri dihadapan Allah dengan hati yang hadir dan berfikir. Orang yang semacam ini jika selesai shalat akan menjumpai keringanan shalat, menjumpai semangat dan kelapangan hati setelah shalat.”[11]

5. Solusi dari berbagai permasalahan
Permasalahan dunia yang berat akan terasa ringan jika kita mengerjakan shalat. Karena shalat adalah penghibur dan penyejuk hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يا بلال أقم الصلاة أرحنا بها

“Bangkitlah wahai Bilal, hiburlah kami dengan shalat.” ”[12]

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap kali dirundung masalah, beliau melaksanakan shalat. Sahabat mulia Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata:
إن النبي صلى الله عليه وسلم إذا حزبه أمرٌ صلى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila dirundung masalah beliau mengerjakan shalat.” [13]

Hal itu tiada lain karena shalat adalah komunikasi antara hamba dengan Robbnya. Berdiri di hadapan Allah ‘azza wa jalla dengan shalat shalat memiliki pengaruh kuat dalam memperbaiki jiwa orang yang shalat bahkan seluruh manusia. Karena shalat adalah penyejuk mata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
جعل قرة عيني في الصلاة

“Telah dijadikan kesejukan mataku di dalam shalat.” [14]

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Ketahuilah, tidak ada keraguan bahwa shalat adalah penyejuk mata orang-orang yang tercinta, kelezatan jiwa-jiwa orang yang bertauhid, tamannya orang-orang yang beribadah, kelezatan hati orang yang khusyuk. Dia adalah rahmat Allah yang dihadiahkan kepada hambanya yang beriman.”[13]

6. Sehat dengan shalat
Ini termasuk manfaat shalat yang tersembunyi. Karena di dalam shalat terdapat gerakan badan yang bermanfaat, menguatkan anggota tubuh. Hal itu dilihat dari dua sisi[16]:

Pertama: Apa yang ada di dalam shalat dan sarana menuju shalat, dari mulai berjalan dan pergi menuju shalat, saat pulangnya kembali, gerakan bangun, duduk, ruku’ dan sujud yang berulang-ulang, demikian pula berwudhu yang berulang-ulang, semua pergerakan ini bermanfaat bagi kebugaran badan.

Kedua: Bahwa maksud yang paling besar adalah menghadirkan hati, bermunajat kepada Allah ‘azza wa jalla, tunduk dan berdoa kepada-Nya. Dan hal itu tanpa ada keraguan menyebabkan hati bersinar. Melapangkan dada dan membuat jiwa bertambah lapang. Dan telah diketahui oleh seluruh dokter bahwa usaha untuk menyenangkan hati ini, membuat jiwa senang adalah termasuk cara jitu untuk meraih kesehatan yang dapat mencegah penyakit, meringankan beban penyakit yang dirasa. Hal ini terbukti dan mujarab, terutama shalat malam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فإن استيقظ فذكر الله انحلت عقدةٌ ، فإن توضأ انحلت عقدةٌ ، فإن صلى انحلت عقدته كلها ، فأصبح نشطاً طيب النفس ، وإلا أصبح خبيث النفس كسلان

“Apabila seorang hamba bangun malam, kemudian dzikir kepada Allah, terlepaslah satu ikatan. Apabila dia berwudlu terlepaslah satu ikatan lagi, jika dia shalat maka akan terlepas seluruh ikatan. Maka pagi harinya jiwanya akan semangat dan bagus, jika tidak bangun, jadilah jiwanya jelek dan malas.” [HR.al-Bukhari: 1142 dan Muslim: 776]

ANCAMAN BAGI YANG MENINGGALKAN SHOLAT

Kaum muslimin tidak berselisih bahwa meninggalkan shalat fardhu secara sengaja merupakan dosa yang paling besar. Dosanya di sisi Allah azza wa jalla lebih besar daripada dosa membunuh jiwa atau merampas harta. Lebih besar daripada dosa zina, mencuri atau meminum khomr. Orang yang meninggalkan shalat terancam siksa Allah ‘azza wa jalla dan murka-Nya, menderita di dunia dan akhirat. [17]

Sungguh banyak sekali dalil-dalil yang menegaskan ancaman yang sangat keras bagi orang yang meninggalkan sholat. Diantaranya:

1. al-Qur’an
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” [QS.Maryam/19:59]

Perhatikanlah ayat ini, Allah ‘azza wa jalla memberi ancaman berupa kesesatan bagi yang menyia-nyiakan shalat!!

Demikian pula firman Allah ‘azza wa jalla:
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.”[QS-at-Taubah/9:11]

Dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla mengaitkan peraudaraan agama di antara kaum muslimin dengan mengerjakan shalat!!

Kemudian Allah ‘azza wa jalla mengisahkan tentang penduduk neraka dalam firman-Nya:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ     قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ

“Apakah yang memasukkan kamu kedalam Saqor (neraka)?. Mereka menjawab: Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” [QS. al-Muddatsir/74:42-43]
Sungguh ayat semacam ini sangat tegas memberi ancaman bagi yang meninggalkan shalat!

2. al-Hadits
- Jabir Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة

“Perbedaan antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” [HR.Muslim: 76]

- Abdullah bin Syaqiq berkata: “Adalah para sahabat Rasulullah tidak memandang sesuatu dari amalan yang bila di tinggalkan menyebabkan kafir selain shalat.” [HR.Tirmidzi: 2622]

- Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya perkara terpenting dalam agama kalian adalah shalat. Barangsiapa yang menjaga shalat, sungguh dia telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang menyia-nyiakan shalat, sungguh dia akan lebih mudah menyia-nyiakan perkara yang lain. Tidak ada bagian dalam agama Islam bagi yang meninggalkan shalat.” [18]

- Imam Ahmad berkata: “Shalat kita adalah akhir agama kita, dia adalah perkara yang pertama kali akan ditanyakan kepada kita pada hari kiamat. Maka tidak ada lagi Islam dan agama bila shalatnya hilang.” [19]

Maka wahai saudaraku yang meninggalkan shalat, berhentilah sekarang juga untuk menyepelekan shalat, bangkitlah dari mimpi burukmu, karena perkara meninggalkan shalat bukan perkara yang ringan, bisa membawa seseorang kepada kekafiran!! Allahul musta’an.

JAGALAH SHOLAT ANDA

Allah memerintahkan seluruh seluruh hamba yang beriman untuk menjaga shalat-shalat mereka. Firman-Nya:
حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah semua sholat(mu), dan (peliharalah) sholat Wustho dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” [QS.al-Baqarah/2:238]

Termasuk menjaga shalat adalah dengan memperhatikan waktu shalat, batasannya dan selalu koreksi terhadap rukun, kewajiban serta selalu semangat untuk menunaikan dengan optimal. Mengerjakan tepat pada waktunya, segera menunaikan dan merasa sedih jika ada bagian hak shalat yang tertinggal, dia memahami andaikan shalat berjama’ahnya ditinggal, maka hilanglah bagiannya dua puluh lipat shalat.[20]

Sungguh kaum muslimin sejak zaman sahabat sangat perhatian terhadap shalat, mereka selalu menjaga shalat dengan perhatian khusus, teladan mereka adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كان رسول الله يحدثنا ونحدثه ، فإذا حضرت الصلاة فكأنه لم يعرفنا ولم نعرفه

“Adalah Rasulullah mengajak kami berbicara dan kami berbicara kepadanya. Apabila telah hadir waktu shalat, seolah-olah beliau tidak mengenal kami dan kami tidak mengenal beliau.”[21]

Demikian pula generasi setelah para sahabat, mereka berjalan di atas manhaj nabawi. Mereka selalu menjaga shalat.

1. Sa’id bin Musayyib rahimahullah karena semangatnya untuk shalat beliau selalu menjaga diri untuk berada di masjid sebelum adzan berkumandang. Hal ini berlangsung selama empat puluh tahun. Bard Maula Sa’id bin Musayyib rahimahullah berkata: “Tidaklah adzan shalat berkumandang sejak empat puluh tahun melainkan Sa’id sudah berada didalam masjid.” [22]
2. Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata: “Janganlah engkau seperti hamba yang jelek, engkau tidak datang kecuali hingga dipanggil, datangilah shalat sebelum adzan.”[23]
3. Amir bin Abdullah rahimahullah sedang sakit sementara rumahnya dekat masjid, ketika adzan berkumandang dia berkata: “Ambillah tanganku bawa ke masjid.” dikatakan padanya: “Engkau ini sedang sakit.” Amir bin Abdullah rahimahullah berkata: “Aku mendengar panggilan Allah kemudian aku tidak menjawabnya?!” Mereka akhirnya membawanya ke masjid, kemudian beliau shalat maghrib dan mendapati satu raka’at bersama imam kemudian meninggal dunia.” [24]

Allahu Akbar! Begitu indah peri kehidupan mereka! Sampai dalam keadaan sakit sekalipun mereka tetap memperhatikan shalat. Lalu bagaimana dengan keadaan orang-orang sekarang yang sangat malas mengerjakan shalat padahal mereka dalam keadaan sehat. Kemudian yang menyedihkan pula, kaum muslimin meninggalkan shalat karena alasan safar (bepergian jauh). Padahal Allah ‘azza wa jalla memerintahkan shalat sekalipun dalam keadaan mencekam!! Allohul musta’aan.

Terakhir, wahai orang yang meninggalkan shalat, ambillah bagian dari umurmu dengan amal shalih. Segeralah bangkit dari kelalaianmu dengan menjaga shalat. Kamu tidak mengetahui berapa lama lagi yang tersisa dari umurmu, apakah sebulan, seminggu atau bahkan sehari atau sesaat.?! Ingatlah selalu firman Allah ‘azza wa jalla yang berbunyi:
إِنَّهُ مَن يَأْتِ رَبَّهُ مُجْرِماً فَإِنَّ لَهُ جَهَنَّمَ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيى

“Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Rabbnya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.” [QS.Thoha/20:74]
فَأَمَّا مَن طَغَى   وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا    فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى

“Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka sesungguhnya neraka lah tempat tinggalnya.” [QS.an-Nazi'at/79:37-39]

Allahu a’lam.

Note:
[1] HR.Tirmidzi: 2616, Ibnu Majah: 3973, Ahmad: 7/31 dan selainnya. Dishohihkan oleh al-Albani dalam ash-Shohihah no.1122]

[2] HR.ath-Thobroni dalam al-Ausath: 1/409. al-Albani berkata dalam ash-Shohihah: 3/346: “Walhasil, hadits ini shohih dengan terkumpulnya jalan yang sangat banyak.”

[3] HR.Ahmad: 5/251. dishohihkan al-Albani dalam Shohih at-Targhib: 1/229

[4] HR.Ahmad: 6/290. Dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Irwaa: 7/238

[5] al-Mughni: 3/6, Ibnu Qodamah

[6] as-Syifa: 2/1703, Qodhi Iyadh

[7] Miftah Daar as-Sa’adah: 2/320, Ibnul Qoyyim

[8] Tafsir ath-Thobari: 20/99

[9] Tafsir Ibnu Katsir: 6/28

[10] HR.Ahmad: 2/169. ad-Darimi: 2/301, Imam al-Mundzir berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang bagus.” Targhib wa Tarhib: 1/440

[11] al-Wabilus Shoyib hal.46, Ibnul Qoyyim

[12] HR.Abu Dawud: 4986 dan Ahmad: 5/371. dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Misykah: 1253

[13] HR.Abu Dawud: 1319, Ahmad 5/388. hadits ini dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shohih Abu Dawud: 1319

[14] HR.an-Nasai: 3949, Ahmad: 4/330, Hakim: 2/160. dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam al-Talkhis: 3/133. Lihat takhrij lengkapnya dalam as-Shohihah: 1809, oleh al-Albani

[15] Asror as-Sholat hal.55-56, Ibnul Qoyyim, Dar.Ibn Hazm

[16] ar-Riyadh an-Nadhiroh hal.17-18, Abdurrahman as-Sa’di

[17] As-Sholat wa Hukmu Tarikiha hal.29, Ibnul Qoyyim

[18] As-Sholat wa Hukmu Tarikiha hal.34

[19] Idem hal.35

[20] al-Wabilus Shoyib hal.16

[21] Aina Nahnu min Haaulaa hal.165, Abdul Malik al-Qoshim

[22] Thobaqot Hanabilah: 1/141, Hilyah Auliya: 2/163

[23] At-Tabshiroh: 1/137

[24] Siyar A’lam Nubala: 5/220, adz-Dzahabi

Sumber: Disalin dari Majalah AL FURQON No. 99, Edisi 7 Th.ke-9 1431/2010 hal.50-54

Sabtu, 03 Mei 2014

KEWAJIBAN BERJILBAB & MENUTUP AURAT BAGI WANITA MUSLIM

KEWAJIBAN BERJILBAB & MENUTUP AURAT BAGI WANITA MUSLIM


(Tafsir QS al-Ahzab [33]: 59)

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.


Sabab Nuzul
Dikemukakan Said bin Manshur, Saad, Abd bin Humaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi Malik: Dulu istri-istri Rasulullah saw. keluar rumah untuk keperluan buang hajat. Pada waktu itu orang-orang munafik mengganggu dan menyakiti mereka. Ketika mereka ditegur, mereka menjawab, "Kami hanya mengganggu hamba sahaya saja." Lalu turunlah ayat ini yang berisi perintah agar mereka berpakaian tertutup supaya berbeda dengan hamba sahaya.1

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ an-Nabiyy qul li azwâjika wa banâtika wa nisâ' al-Mu'mînîn (Hai Nabi, katakanah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin). Khithâb (seruan) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw.


Allah Swt. memerintahkan Nabi saw. untuk menyampaikan suatu ketentuan bagi para Muslimah. Ketentuan yang dibebankan kepada para wanita Mukmin itu adalah: yudnîna 'alayhinna min jalâbîbihinna (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka).


Kata jalâbîb merupakan bentuk jamak dari kata jilbâb. Terdapat beberapa pengertian yang diberikan para ulama mengenai kata jilbab. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai ar-ridâ' (mantel) yang menutup tubuh dari atas hingga bawah.2 Al-Qasimi menggambarkan, ar-ridâ' itu seperti as-sirdâb (terowongan).3 Adapun menurut al-Qurthubi, Ibnu al-'Arabi, dan an-Nasafi jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh.4 Ada juga yang mengartikannya sebagai milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis) dan semua yang menutupi, baik berupa pakaian maupun lainnya.5 Sebagian lainnya memahaminya sebagai mulâ'ah (baju kurung) yang menutupi wanita6 atau al-qamîsh (baju gamis).7


Meskipun berbeda-beda, menurut al-Baqai, semua makna yang dimaksud itu tidak salah.8 Bahwa jilbab adalah setiap pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan dalam keseharian dapat dipahami dari hadis Ummu 'Athiyah ra.:

Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Fitri dan Adha, baik gadis yang menginjak akil balig, wanita-wanita yang sedang haid, maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meninggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslim. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?" Rasulullah saw. menjawab, "Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya." (HR Muslim).


Hadis ini, di samping, menunjukkan kewajiban wanita untuk mengenakan jilbab ketika hendak keluar rumah, juga memberikan pengertian jilbab; bahwa yang dimaksud dengan jilbab bukanlah pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan dalam rumah. Sebab, jika disebutkan ada seorang wanita yang tidak memiliki jilbab, tidak mungkin wanita itu tidak memiliki pakaian yang biasa dikenakan dalam rumah. Tentu ia sudah memiliki pakaian, tetapi pakaiannya itu tidak terkategori sebagai jilbab.


Kata yudnîna merupakan bentuk mudhâri' dari kata adnâ. Kata adnâ berasal dari kata danâ yang berarti bawah, rendah, atau dekat. Dengan demikian, kata yudnîna bisa diartikan yurkhîna (mengulurkan ke bawah).9 Meskipun kalimat ini berbentuk khabar (berita), ia mengandung makna perintah; bisa pula sebagai jawaban atas perintah sebelumnya.10

Berkaitan dengan gambaran yudnîna 'alayhinna, terdapat perbedaan pendapat di antara para mufassir. Menurut sebagian mufassir, idnâ' al-jilbâb (mengulurkan jilbab) adalah dengan menutupkan jilbab pada kepala dan wajahnya sehingga tidak tampak darinya kecuali hanya satu mata. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Ibnu Sirrin, Abidah as-Salmani,11 dan as-Sudi.12 Demikian juga dengan al-Jazairi, an-Nasafi, dan al-Baidhawi.13


Sebagian lainnya yang menyatakan, jilbab itu diikatkan di atas dahi kemudian ditutupkan pada hidung. Sekalipun kedua matanya terlihat, jilbab itu menutupi dada dan sebagian besar wajahnya. Demikian pendapat Ibnu Abbas dalam riwayat lain dan Qatadah.14Adapun menurut al-Hasan, jilbab itu menutupi separuh wajahnya.15


Ada pula yang berpendapat, wajah tidak termasuk bagian yang ditutup dengan jilbab. Menurut Ikrimah, jilbab itu menutup bagian leher dan mengulur ke bawah menutupi tubuhnya, 16 sementara bagian di atasnya ditutup dengan khimâr (kerudung)17 yang juga diwajibkan (QS an-Nur [24]: 31).


Pendapat ini diperkuat dengan hadis Jabir ra. Jabir ra. menceritakan: Dia pernah menghadiri shalat Id bersama Rasulullah saw. Setelah shalat usai, Beliau lewat di depan para wanita. Beliau pun memberikan nasihat dan mengingatkan mereka. Di situ Beliau bersabda, "Bersedakahlah karena kebanyakan dari kalian adalah kayu bakar neraka." Lalu seorang wanita yang duduk di tengah-tengah wanita kaum wanita yang kedua pipinya kehitam-hitaman (saf'â al-khaddayn) bertanya, "Mengapa wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Karena kalian banyak mengadu dan ingkar kepada suami." (HR Muslim dan Ahmad).


Deskripsi Jabir ra. bahwa kedua pipi wanita yang bertanya kepada Rasulullah saw. kedua pipinya kehitam-hitaman menunjukkan wajah wanita itu tidak tertutup. Jika hadis ini dikaitkan dengan hadis Ummu Athiyah yang mewajibkan wanita mengenakan jilbab saat hendak mengikuti shalat Id, berarti jilbab yang wajib dikenakan itu tidak harus menutup wajah. Sebab, jika pakaian wanita itu bukan jilbab atau penggunaannya tidak benar, tentulah Rasulullah saw. akan menegur wanita itu dan melarangnya mengikuti shalat Id. Di samping hadis ini, terdapat banyak riwayat yang menceritakan adanya para wanita yang membuka wajahnya dalam kehidupan umum.


Penafsiran ini juga sejalan dengan firman Allah Swt. dalam QS an-Nur (24) ayat 31: Wa lâ yubdîna zînatahunna illâ mâ zhahara minhâ (dan janganlah mereka menampakkan kecuali yang biasa tampak daripadanya). Menurut Ibnu Abbas, yang biasa tampak adalah wajah dan dua telapak tangan. Ini adalah pendapat yang masyhur menurut jumhur ulama.18Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Umar, Atha', Ikrimah, Said bin Jubair, Abu asy-Sya'tsa', adh-Dhuhak, Ibrahim an-Nakhai,19 dan al-Auza'i.20 Demikian juga pendapat ath-Thabari, al-Jashash, dan Ibnu al-'Arabi.21


Meskipun ada perbedaan pendapat tentang wajah dan telapak tangan, para mufassir sepakat bahwa jilbab yang dikenakan itu harus bisa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk di dalamnya telapak kaki. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw.:

"Siapa saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat." Ummu Salamah bertanya, "Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?" Beliau menjawab, "Turunkanlah satu jengkal." Ummu Salamah bertanya lagi, "Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap." Lalu Rasulullah saw. bersabda lagi, "Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu." (HR at-Tirmidzi).


Berdasarkan hadis ini, jilbab yang diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita. Dalam hal ini, para wanita tidak perlu takut jilbabnya menjadi najis jika terkena tanah yang najis. Sebab, jika itu terjadi, tanah yang dilewati berikutnya akan mensucikannya. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu al-Walad Abdurrahman bin Auf; ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah ra. tentang ujung pakainnya yang panjang dan digunakan berjalan di tempat yang kotor. Ummu Salamah menjawab bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Yuthahhiruhu mâ ba'dahu (Itu disucikan oleh apa yang sesudahnya).


Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Dzâlika adnâ an yu'rafna falâ yu'dzayn (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu). Maksud kata dzâlika adalah ketentuan pemakaian jilbab bagi wanita, sedangkan adnâ berarti aqrab (lebih dekat).22 Yang dimaksud dengan lebih mudah dikenal itu bukan dalam hal siapanya, namun apa statusnya. Dengan jilbab, seorang wanita merdeka lebih mudah dikenali dan dibedakan dengan budak.23 Karena diketahui sebagai wanita merdeka, mereka pun tidak diganggu dan disakiti.


Patut dicatat, hal itu bukanlah 'illat (sebab disyariatkannya hukum) bagi kewajiban jilbab yang berimplikasi pada terjadinya perubahan hukum jika illat-nya tidak ada. Itu hanyalah hikmah (hasil yang didapat dari penerapan hukum). Artinya, kewajiban berjilbab, baik bisa membuat wanita Mukmin lebih dikenal atau tidak, tidaklah berubah.


Ayat ini ditutup dengan ungkapan yang amat menenteramkan hati: Wa kâna Allâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bertobat kepada-Nya jika telah terlanjur melakukan perbuatan dosa dan tidak menaati aturan-Nya.


Mendatangkan Kebaikan


Ayat ini secara jelas memberikan ketentuan tentang pakaian yang wajib dikenakan wanita Muslimah. Pakaian tersebut adalah jilbab yang menutup seluruh tubuhnya. Bagi para wanita, mereka tak boleh merasa diperlakukan diskriminatif sebagaimana kerap diteriakkan oleh pengajur feminisme. Faktanya, memang terdapat perbedaan mencolok antara tubuh wanita dan tubuh laki-laki. Oleh karenanya, wajar jika ketentuan terhadapnya pun berbeda. Keadilan tak selalu harus sama. Jika memang faktanya memang berbeda, solusi terhadapnya pun juga tak harus sama.


Penggunaan jilbab dalam kehidupan umum akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Dengan tubuh yang tertutup jilbab, kehadiran wanita jelas tidak akan membangkitkan birahi lawan jenisnya. Sebab, naluri seksual tidak akan muncul dan menuntut pemenuhan jika tidak ada stimulus yang merangsangnya. Dengan demikian, kewajiban berjilbab telah menutup salah satu celah yang dapat mengantarkan manusia terjerumus ke dalam perzinaan; sebuah perbuatan menjijikkan yang amat dilarang oleh Islam.


Fakta menunjukkan, di negara-negara Barat yang kehidupannya dipenuhi dengan pornografi dan pornoaksi, angka perzinaan dan pemerkosaannya amat mengerikan. Di AS pada tahun 1995, misalnya, angka statistik nasional menunjukkan, 1,3 perempuan diperkosa setiap menitnya. Berarti, setiap jamnya 78 wanita diperkosa, atau 1.872 setiap harinya, atau 683.280 setiap tahunnya!24 Realitas ini makin membuktikan kebenaran ayat ini: Dzâlika adnâ an yu'rafna falâ yu'dzayn (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu).

Bagi wanita, jilbab juga dapat mengangkatnya pada derajat kemuliaan. Dengan aurat yang tertutup rapat, penilaian terhadapnya lebih terfokus pada kepribadiannya, kecerdasannya, dan profesionalismenya serta ketakwaannya. Ini berbeda jika wanita tampil 'terbuka' dan sensual. Penilaian terhadapnya lebih tertuju pada fisiknya. Penampilan seperti itu juga hanya akan menjadikan wanita dipandang sebagai onggokan daging yang memenuhi hawa nafsu saja.


Walhasil, penutup ayat ini harus menjadi catatan amat penting dalam menyikapi kewajiban jilbab. Wa kânaLlâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Ini memberikan isyarat, kewajiban berjilbab tersebut merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya. Siapa yang tidak mau disayangi-Nya?!

Wallâh a'lam bi ash-shawâb

Rabu, 30 April 2014

"Berhala Modern Itu Bernama Nasionalisme"

"Berhala Modern Itu Bernama Nasionalisme"

Ada sebuah ayat di dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan bahwa suatu masyarakat sengaja menjadikan ”berhala” tertentu sebagai perekat hubungan antara satu individu dengan individu lainnya. Sedemikian rupa ”berhala” itu diagungkan sehingga para anggota masyarakat yang ”menyembahnya” merasakan tumbuhnya semacam ”kasih-sayang” di antara mereka satu sama lain. Suatu bentuk kasih-sayang yang bersifat artifisial dan temporer. Ia bukan kasih-sayang yang sejati apalagi abadi. Gambaran mengenai berhala pencipta kasih-sayang palsu ini dijelaskan berkenaan dengan kisah Nabiyullah Ibrahim ’alaihis-salam.

وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ

فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ

بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

“Dan berkata Ibrahim ’alaihis-salam: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.” (QS Al-Ankabut ayat 25)

"Berhala-berhala" di zaman dahulu adalah berupa patung-patung yang disembah dan dijadikan sebab bersatunya mereka yang sama2 menyembah berhala patung itu padahal berhala itu merupakan produk bikinan manusia. Di zaman modern sekarang "berhala" bisa berupa aneka isme/ ideologi/ falsafah/ jalan hidup/ way of life/ sistem hidup/ pandangan hidup produk bikinan manusia. Manusia di zaman skrg juga "menyembah" berhala-berhala modern tersebut dan mereka menjadikannya sebagai "pemersatu" di antara aneka individu dan kelompok di dalam masyarakat. Berhala modern itu menciptakan semacam persatuan dan kasih-sayang yang berlaku sebatas kehidupan mereka di dunia saja. Berhala modern itu bisa memiliki nama yang beraneka-ragam. Tapi apapun namanya, satu hal yang pasti bahwa ia semua merupakan produk fikiran terbatas manusia. Ia bisa bernama Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Liberalisme, Nasionalisme atau apapun selain itu.

Semenjak runtuhnya tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara ummat Islam 85 tahun yang lalu bangsa-bangsa Muslim di segenap penjuru dunia mulai menjalani kehidupan sosialberlandaskan sebuah faham yang sesungguhnya asing bagi mereka. Faham itu bernama Nasionalisme. Ketika Khilafah Islamiyyah masih tegak dan menaungi kehidupan sosial ummat, mereka menghayati bahwa hanya aqidah Islam Laa ilaha illa Allah sajalah yang mempersatukan mereka satu sama lain. Hanya aqidah inilah yang menyebabkan meleburnya sahabat Abu Bakar yang Arab dengan Salman yang berasal dari Persia dengan Bilal yang orang Ethiopia dengan Shuhaib yang berasal dari bangsa Romawi. Mereka menjalin al-ukhuwwah wal mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) yang menembus batas-batas suku, bangsa, warna kulit, asal tanah-air dan bahasa. Dan yang lebih penting lagi bahwa ikatan persatuan dan kesatuan yang mereka jalin menembus batas dimensi waktu sehingga tidak hanya berlaku selagi mereka masih di dunia semata, melainkan jauh sampai kehidupan di akhirat kelak. Mengapa? Karena ikatan mereka berlandaskan perlombaan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Hidup lagi Maha Abadi.

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf ayat 67)

Orang-orang beriman tidak ingin menjalin pertemanan yang sebatas akrab di dunia namun di akhirat kemudian menjadi musuh satu sama lain. Oleh karenanya, mereka tidak akan pernah mau mengorbankan aqidahnya yang mereka yakini akan menimbulkan kasih-sayang hakiki dan abadi. Sesaatpun mereka tidak akan mau menggadaikan aqidahnya dengan faham atau ideologi selainnya. Sebab aqidah Islam merupakan pemersatu yang datang dan dijamin oleh Penciptanya pasti akan mewujudkan kehidupan berjamaah sejati dan tidak bakal mengantarkan kepada perpecahan dan bercerai-berainya jamaah tersebut.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

”Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dalam jamaah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS Ali Imran ayat 103)

Sewaktu ummat Islam hidup di bawah naungan Syariat Allah dalam tatanan Khilafah Islamiyyah mereka tidak mengenal bentuk ikatan kehidupan sosial selain Al-Islam. Mereka tidak pernah membangga-banggakan perbedaan suku dan bangsa satu sama lain. Betapapun realitas suku dan bangsa memang tetap wujud, tetapi ia tidak pernah mengalahkan kuatnya ikatan aqidah di dalam masyarakat. Sedangkan setelah masing-masing negeri kaum muslimin mengikuti jejak langkah Republik Turki Modern Sekuler, maka mulailah mereka mengekor kepada dunia barat yang hidup dengan membanggakan Nasionalisme masing-masing bangsa. Padahal bangsa-bangsa Barat tidak pernah benar-benar berhasil membangun soliditas sosial melalui man-made ideology tersebut. Akhirnya bangsa-bangsa Muslim mulai sibuk mencari-cari identitas Nasionalisme-nya masing-masing. Mulailah orang Indonesia lebih bangga dengan ke-Indonesiaannya daripada ke-Islamannya. Bangsa Mesir bangga dengan ke-Mesirannya. Bangsa Saudi bangga dengan ke-Saudiannya. Bangsa Turki bangga dengan ke-Turkiannya. Lalu perlahan tapi pasti kebanggaan akan Islam sebagai perekat hakiki dan abadi kian tahun kian meluntur.

Sehingga di dalam kitab Fi Zhilalil Qur’an Asy-Syahid Sayyid Qutb rahimahullah menulis komentar mengenai surah Al-Ankabut ayat 25 di atas sebagai berikut:

Ia (Ibrahim) ’alaihis-salam berkata kepada mereka (kaumnya), “Kalian menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah, yang kalian lakukan bukan karena kalian mempercayai dan meyakini berhaknya berhala-berhala itu untuk disembah. Namun, itu kalian lakukan karena basa-basi kalian satu sama lain, dan karena keinginan untuk menjaga hubungan baik kalian satu sama lain, untuk menyembah berhala ini. Sehingga, seorang teman tak ingin meninggalkan sesembahan temannya (ketika kebenaran tampak baginya) semata karena untuk menjaga hubungan baik di antara mereka, dengan mengorbankan kebenaran dan akidah!”

Hal ini terjadi di tengah masyarakat yang tak menjadikan akidah dengan serius. Sehingga, mereka saling berusaha menyenangkan temannya dengan mengorbankan akidahnya, dan melihat masalah akidah itu sebagai sesuatu yang lebih rendah dibandingkan jika ia harus kehilangan teman! Ini adalah keseriusan yang benar-benar serius. Keseriusan yang tak menerima peremehan, santai, atau basa-basi.

Kemudian Ibrahim’alaihis-salam menyingkapkan kepada mereka lembaran mereka di akhirat. Hubungan sesama teman yang mereka amat takut jika terganggu karena akidah, dan yang membuat mereka terpaksa menyembah berhala karena untuk menjaga hubungan itu, ternyata di akhirat menjadi permusuhan, saling kecam, dan perpecahan.

”...Kemudian di hari Kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain)....”

Hari ketika para pengikut mengingkari orang-orang yang diikutinya, orang-orang yang dibeking mengkafirkan orang-orang yang membekingnya, setiap kelompok menuduh temannya sebagai pihak yang menyesatkannya, dan setiap orang yang sesat melaknat teman yang menyesatkannya!

Kemudian kekafiran dan saling melaknat itu tak bermanfaat sama sekali, serta tak dapat menghalangi azab bagi siapapun.

”...Dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun.”

Mereka (kaumnya Nabi Ibrahim ’alaihis-salam) pernah menggunakan api untuk membakar Ibrahim ’alaihis-salam, tapi Allah kemudian membela dan menyelamatkan Ibrahim ’alaihis-salam dari api itu. Sementara mereka tak ada yang dapat menolong mereka dan tak ada keselamatan bagi mereka!

Saudaraku, marilah kita tinggalkan segala bentuk “berhala modern” yang sadar ataupun tidak selama ini kita “sembah”. Kita jadikan faham selain Islam sebagai sebuah perekat antara satu sama lain, padahal persatuan dan kasih-sayang yang dihasilkannya hanya bersifat fatamorgana. Marilah hanya AL-ISLAM yang kita jadikan "faktor pemersatu" yang pasti terjamin akan mempersatukan kita di dunia dan di akhirat. Al-Islam bukan produk manusia melainkan produk Allah Yg Maha Tahu dan Maha Sempurna pengetahuannya.

Sedemikian hebatnya pengaruh Nasionalisme sehingga sebagian orang yang mengaku berjuang untuk kepentingan ummat-pun takluk di bawah ideologi buatan manusia yang satu ini. Betapa ironisnya perjuangan para politisi Islam tatkala mereka rela untuk menunjukkan inkonsistensi-nya di hadapan seluruh ummat demi meraih penerimaan dari fihak lain yang jelas-jelas mengusung Nasionalisme. Seolah kelompok yang mengusung ideologi Islam harus siap mengorbankan apapun demi mendapatkan keridhaan kelompok yang mengusung Nasionalisme. Seolah memelihara persatuan dan soliditas berlandaskan Nasionalisme jauh lebih penting dan utama daripada mewujudkan al-ukhuwwah wal mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) berlandaskan aqidah Islam.

Sedemikian dalamnya faham Nasionalisme telah merasuk ke dalam hati sebagian orang yang mengaku memperjuangkan aspirasi politik Islam sehingga rela mengatakan bahwa ”Isyu penegakkan Syariat Islam merupakan isyu yang sudah usang dan tidak relevan.” Tidakkah para politisi ini menyadari bahwa ucapan mereka seperti ini bisa menyebabkan rontoknya eksistensi Syahadatain di dalam dirinya? Dengan kata lain ucapannya telah mengundang virus ke-murtad-an kepada si pengucapnya. Wa na’udzubillahi min dzaalika.

Sebagian orang berdalih bahwa jika kita mengusung syiar ”Penegakkan Syariat Islam” lalu bagaimana dengan nasib orang-orang di luar Islam? Saudaraku, disinilah tugas kita orang-orang beriman untuk mempromosikan Islam sebagai "faktor pemersatu" yg bersifat Rahmatan lil 'aalamiin. Tidakkah terasa aneh bila "mereka" bisa dan boleh dibiarkan mendikte aneka isme/ ideologi/ falsafah/ jalan hidup/ way of life/ sistem hidup/ pandangan hidup produk bikinan manusia kepada kita umat Islam, sedangkan kita umat Islam tidak mampu –bahkan kadang tidak mau- mempromosikan (baca: berda'wah) menyebarluaskan ajaran Allah kepada "mereka"? Wallahua'lam.-


وَلَا تُؤْمِنُوا إِلَّا لِمَنْ تَبِعَ دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِ

أَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ


”Dan Janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu". (QS Ali Imran ayat 73)

sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit/undangan-surga/berhala-modern-itu-bernama-nasionalisme.htm

Rabu, 01 Januari 2014

Sepuluh (10) Kerusakan (Parah) dalam Perayaan Tahun Baru

Sepuluh (10) Kerusakan (Parah) dalam Perayaan Tahun Baru

Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikutinya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.

Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.1
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam.
Dari penjelasan ini, selanjutnya kita akan melihat beberapa kerusakan yang terjadi dalam perayaan tersebut, apalagi jika seorang muslim ikut serta.

Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan 'Ied yang Haram

Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts 'Ilmiyyah wal Ifta', komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini.

Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
a) hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat,
b) berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut,
c) berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah

Hukum ied terbagi menjadi dua. [1] Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala atau [2] ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim).
Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Alloh izinkan disamping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”2
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang (haram) karena menyerupai perayaan orang kafir.

Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Seperti telah kami kemukakan dalam sejarah di atas bahwa perayaan tahun baru sama sekali bukanlah tradisi kaum muslimin, namun perayaan tradisi tersebut adalah hasil import dari negeri kafir dan diadopsi serta dimeriahkan oleh kaum muslimin. Sehingga merayakannya berarti meniru-niru orang orang-orang kafir. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah mengabarkan bahwa kaum muslimin akan mengikuti jalan mereka.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »


“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jejak orang-orang sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persi dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?”3
Dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ ». قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ ».

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”4
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro' (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”5
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang kafir diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah badan. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”6 Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).7

Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Aneh betul. Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini adalah dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari'atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama'ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat dan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh melakukan suatu amalan yang dibuat-buat. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari'atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.

”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.”8

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Perayaan semacam tahun baru juga sudah ada di masa silam. Namun tidak pernah di antara para ulama yang mensyari'atkan pada kaum muslimin agar hari itu tidak sia-sia untuk melakukan dzikir dan amalan lainnya. Para ulama seringkali menyatakan,

لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.” Ibnu Katsir mengatakan, “Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.”9 Berarti yang tidak mereka lakukan, lalu dilakukan oleh orang-orang setelah mereka adalah perkara yang jelek. Maka begitu pula halnya kita katakan pada perayaan tahun baru. Seandainya perayaan tersebut adalah baik, tentu para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya.

Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Karena kita ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini.
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, ”Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”10
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin -rahimahullah- mengatakan, ”Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama.”11

Kerusakan Kelima: Melalaikan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Bahkan mungkin di antara mereka tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah-mengatakan, ”Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”12
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”13

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”14 Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar. Hanya Allah yang memberi taufik.

Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”15 Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo'a yaitu di sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.

Kerusakan Keenam: Begadang yang Tidak Perlu

Begadang tanpa ada kepentingan yang syar'i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat Isya’ dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”16 Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat 'Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama'ah. 'Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”.”17

Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina

Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin yang ada lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang dapat kita saksikan pada pasangan-pasangan tanpa status nikah di malam tersebut. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahu dan ini riil di kalangan muda-mudi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”18

Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau bukan mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul, “Apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut juga haram”.19

Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena dapat mengganggu sesama muslim, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”20

Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”21 Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan?!

Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan

Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan secara besar-besaran hanya dalam satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan semacam itu. Lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia. Hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27). Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh dari sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”. Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.

Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”22

Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”23

Membuang-buang waktu dengan cuma sekedar menunggu detik-detik pergantian tahun termasuk hal yang sia-sia, tidak ada faedahnya sama sekali.
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama ada sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”24
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ

“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37) Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”25

Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru dan masih banyak dampak buruk lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena amatlah banyak. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.

Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam ini, perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam, berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Di publish ulang oleh omahkeong dari rumaysho.com dengan sumber asli :
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:
1 Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
2 Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts 'Ilmiyyah wal Ifta', 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi' Al Ifta'.
3 HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah.
4 HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa'id Al Khudri.
5 Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya' At Turots Al 'Arobiy, cetakan kedua, 1392.
6 HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
7 Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
8 HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).
9 Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/278-279, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
10 Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
11 Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/28-29, no. 404, Asy Syamilah.

12 Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam Ahmad
13 Al Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al 'Ilmiyyah.
14 HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574
15 HR. Muslim no. 1163
16 HR. Bukhari no. 568
17 Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
18 HR. Muslim no. 6925
19 Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i
20 HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41
21 Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah

22 Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27
23 HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih.
24 Al Fawa’id, hal. 33
25 Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.