Rabu, 27 April 2011

Mencari Hakikat Ilmu

Mencari Hakikat Ilmu


(Shaid al-Khatir, Ibnu al-Jauzi Rahimahullah)

Aku melihat mayoritas ‘ulama’ sibuk dengan bentuk lahir ilmu dan melupakan hakikatnya.

Seorang ahli al-Qur.an sibuk dengan riwayatnya yang beragam dan bacaannya yang ganjil. Baginya, al-Qur.an hanya untuk dibaca, ia tak mau merenungkan kebesaran Dzat yang mengatakannya serta ancaman dan janji yang ada di dalam firmanNya. Kadang ia meyakini hafalan al-Qur.an sebagai sesuatu yang bisa membelanya, lalu ia pun melakukan berbagai jenis dosa dengan begitu entengnya. Padahal, andai saja ia paham, ia pasti akan tahu bahwa tanggung jawabnya di hadapan Allah lebih besar daripada orang yang tidak menghalalkannya.

Seorang ahli hadits sibuk dengan mengumpulkan berbagai macam riwayat dan menghafalkan beraneka sanad, namun menolak memikirkan maknanya. Ia menganggap dirinya telah menjadi wakil ummat dalam menghafalkan hadits. Ia pun kemudian mengharapkan keselamatan berkat tindakannya ini, namun tak jarang ia juga berlaku sembrono dalam mengerjakan kemaksiatan (karena meyakini hafalannya akan membelanya).

Seorang ahli fikih juga menyangka dirinya punya kedudukan yang lebih tinggi dari orang lain dan menganggap dosa-dosanya telah dihapuskan lantaran ia sudah memahami ilmu debat yang bisa mengalahkan musuh-musuhnya (karena ia telah menguasai masalah-masalah fikih yang ada dalam madzhabnya, dan ia sudah merasa punya pengetahuan-pengetahuan yang membuatnya layak mengeluarkan fatwa). Namun, terkadang ia juga berani melakukan beberapa dosa, karena menganggap ilmunya akan menjadi pembelanya. Ada kalanya ia juga tak hafal al-Qur.an dan tak tahu hadits yang melarangnya mengerjakan kemungkaran, baik secara lembut atau kasar, selain kebodohan. Ternyata, ia juga suka pada kekuasaan dan kemenangan atas musuh saat berdebat, karena itu hatinya pun semakin mengeras.

Itulah kondisi kebanyakan orang, bentuk lahir ilmu adalah hal paling berarti bagi mereka. Ia membuat mereka menyombongkan diri dan bertindak ceroboh.

Seorang yang telah bertaubat menuturkan;
Seorang Syaikh yang telah menghabiskan umurnya untuk mempelajari berbagai macam ilmu harus menderita di akhir hayatnya lantaran kemaksiatan yang dilakukannya secara terus menerus. Si Syaikh mengatakan, Aku mengira ilmuku bisa membelaku, ternyata ia tak punya pengaruh apa-apa!

Syaikh ini begitu yakin pada keselamatan dirinya, ia tak punya rasa takut sama sekali pada Allah. Ia juga tak pernah menyesali dosa yang pernah dikerjakannya. Kondisi di akhir hidupnya menjadi kacau, ia jatuh miskin dan harus menghadapi berbagai jenis kesulitan. Walaupun demikian, ia tetap bersikeras dengan kemaksiatannya, dan ia baru mau sadar saat ia harus menjadi seorang peminta-minta. Saat itulah ia berseru; Duhai Rabb, haruskah sampai separah ini!

Aku benar-benar heran melihat kelalaian orang ini, ia melupakan Allah ‘Azza wa Jalla tapi menginginkan kehidupan yang menyenangkan, kehormatan dan rizki yang berlimpah. Ia seperti tak pernah mendengar firman Allah Ta’ala;

وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا  [الجن/16
Dan bahwasanya, jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang banyak).

Orang ini tak tahu bahwa kemaksiatan menutup pintu-pintu rizki dan bahwa orang yang menyia-nyiakan perintah Allah pasti akan menyia-nyiakan perintah Allah pasti akan disia-siakan olehNya. Aku belum pernah melihat ilmu seburuk ilmu orang ini, karena ilmu biasanya akan membuat pemiliknya merasa rendah saat ia berbuat salah, tapi ilmu orang ini malah membuatnya bernafsu untuk melakukan kemaksiatan.

Ia seperti meyakini kemubahan maksiat yang dilakukannya, dan ia seolah merasa punya hak untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu dalam agama. Beberapa waktu kemudian Syaikh ini jatuh sakit, lalu ia pun meninggal dalam kondisi yang paling mengenaskan.

Orang yang bertaubat ini kemudian melanjutkan ceritanya;
Aku juga kenal syaikh lain yang menguasai sangat banyak ilmu, tapi ilmunya yang amat banyak ini ternyata tak memberinya manfaat sedikitpun. Setiap kemaksiatan yang bisa dilakukan pasti ia lakukan, dan setiap ketetapan Allah yang tak cocok bagi dirinya, langsung ia protes dan ia cela. Orang ini kemudian hidup dalam kehidupan yang paling susah dan meyakini I’tikad yang paling buruk hingga meninggal dunia.

Orang-orang di atas tak memahami hakikat ilmu, ilmu yang sesungguhnya bukanlah lafaz-lafaznya, tapi pengamalannya. Hanya ilmu yang seperti inilah yang bisa melahirkan perasaan takut dan waspada, sekaligus juga membuat pemiliknya menyadari anugerah Dzat yang memberinya ilmu dan beratnya tanggung jawab orang yang berilmu.

Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla menganugerahi kita kesadaran yang bisa membuat kita paham hakikat dan memperkenalkan kita pada Dzat yang semestinya disembah. Dan kita berlindung kepadaNya dari jalan orang-orang rendah yang memperlihatkan diri sebagai orang berilmu, namun mereka tak mau mengamalkan ilmunya, dan justru menyombongkan diri di hadapan manusia yang tak dimilikinya serta mengumpulkan harta benda duniawi, sekalipun mereka telah dilarang melakukannya.

Orang-orang ini terkalahkan oleh hawa nafsunya dan tak bisa dijinakkan oleh ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari, orang-orang ini lebih hina dari orang-orang awam yang tidak punya ilmu.

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ (7) [الروم/7

Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sementara mereka lalai terhadap kehidupan akhirat.


Sedikit komentar:

Apa yang dilakukan oleh Ibnu al-Jauzi Rahimahullah berkenaan dengan menyebut aib seseorang perlu kita contoh. Beliau menyembunyikan nama seorang Syaikh yang tertimpa musibah tersebut, padahal ghibah dengan menyebutkan nama seseorang sekalipun, yang tujuannya untuk memperingatkan kaum muslimin agar tidak menirunya (bukan semata-mata untuk menjelek-jelekkannya) adalah boleh hukumnya. Ini seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya yaitu Riyadlus Shalihin dan al-Adzkar pada Bab Ghibah sub Bab Ghibah yang dibolehkan. Ghibah untuk memperingatkan kaum muslimin, apabila dengan kisahnya saja sudah bisa memperingatkan kaum muslimin, maka sebaiknya tidak perlu disebutkan namanya, seperti kisah di atas. Ini lebih berhati-hati. Bedanya jika ghibah tersebut disebutkan namanya, efeknya akan lebih meyakinkan, namun perlu diingat yang menyampaikan informasi tersebut harus benar-benar menjaga hati, karena iblis mudah membelokkan niat kita pada saat kita lalai. Misalnya dengan menambah-nambahi berita, menduga-duga yang tidak ada faktanya, dsb. Ingatlah bahwa lisan dan kemaluan itu adalah pengantar terbanyak menuju neraka.

Belajar dari yang dikisahkan Ibnul Jauzi di atas kita juga bisa memetik pelajaran, bahwa orang berilmu sekalipun bisa terkena fitnah, terlebih lagi orang-orang jahil. Allah Maha berkehendak atas segala sesuatu, haram hukumnya merasa aman dari rencana Allah, di sinilah betapa pentingnya berdoa untuk memohon pengampunan dan perlindungan padaNya, tidak ada yang tahu masa depan manusia. Merasa aman dari rencana Allah adalah salah satu dosa besar.

Dalam mengungkapkan kebaikan diri sendiri, kita juga harus mencontoh Nabi Muhammad agar terhindar dari sikap berbangga diri atau memamerkan kebaikan. Nabi pernah bersabda –yang kurang lebih maknanya-;

“..Ada seorang Nabi yang menyeru pada kaumnya agar beriman kepada Allah, namun mereka malah melemparinya dengan batu..”.

Padahal yang beliau ceritakan adalah dirinya sendiri.

Ketika diri kita dipuji/disanjung seseorang, kita juga perlu belajar pada sahabat Nabi seperti pada hadits berikut;

صحيح الأدب المفرد - (ج 1 / ص 282)
عن عدي بن أرطاة قال: كان الرجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا زكي قال: "اللهم لا تؤاخذني بما يقولون، واغفر لي ما لا يعلمون"
"Ada sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ketika disanjung dia berkata, 'Ya Allah, janganlah Engkau menyiksaku oleh sebab perkataan mereka, dan ampunilah aku karena mereka tidak tahu'." (HR. al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad, sanadnya shahih)

زاد البيهقي في "الشعب" (4/228) من طريق آخر: 
 "واجعلني خيراً مما يظنون
(Hadits di atas) terdapat tambahan pada riwayat al-Bayhaqi di dalam kitab asy-Syu’ab (Syu’ab al-Iman) juz 4 hal 228, dari jalan (sanad) yang lain (dengan lafadz);
dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka duga

Doa pada hadits ini bisa jadi solusi, apabila kita tidak mampu menasehati orang yang menyanjung kita.

Wallahu a’lam bish showab… semoga bermanfaat…

oleh Zakariyya Iman