Mahasiswi pemulung
Ming Ming
Sari Nuryanti
Menjadi
Pemulung untuk Membiayai Kuliah dan Melanjutkan Hidupnya
Mungkin,
untuk sebagian orang, memulung botol-botol dan gelas bekas air mineral
merupakan pekerjaan yang tidak bisa diandalkan. Namun tidak untuk Ming Ming
Sari Nuryanti 18 tahun (saat ini usianya 22 tahun). Ia justru mengandalkan rezekinya dari botol dan gelas-gelas
plastik itu. Ia bisa makan dan kuliah karena itu. Bagaimana perjuangannya dan
kegiatannya sehari-hari?
Kamis (3/4)
pukul 06.00 WIB. Saya menyusuri jalan kota Bogor menuju
Rumpin, sebuah desa kecil yang letaknya kira-kira 100 km dari kota Bogor. Untuk
bisa sampai ke Rumpin, kita harus mengganti kendaraan hingga tiga kali.
Jalan ke desa ini pun berkelok-kelok. Di pinggir jalan terlihat batu besar dan
tumpukan pasir setinggi laki-laki dewasa. Saya baru tiba di SMU
Negeri 1 Rumpin sekitar pukul 10.00 WIB, tempat dimana Saya janji bertemu
dengan seorang gadis. Setelah beberapa lama menunggu, muncul seorang gadis
mungil dari pintu gerbang sekolah. Ia mengenakan jilbab berwarna hijau dan
terusan gamis dengan motif kotak-kotak yang juga berwarna hijau. Di punggungnya
ada tas berwarna merah jambu yang sudah sobek-sobek. Wanita itu adalah Ming
Ming.
Ming Ming
Sari Nuryanti, nama lengkap wanita itu. Panggilannya Ming Ming. Ia lahir di
Jakarta, 28 April 1990 sebagai putri pertama dari tujuh bersaudara pasangan
Syaepudin (45) dan Pujiyati (42). Syaepudin, ayahnya, adalah seorang karyawan
di sebuah tempat hiburan di daerah Ancol, Jakarta Utara. Setiap hari ia
mengumpulkan bola bowling yang ditinggalkan pengunjung. Sementara Pujiyati,
ibunya, adalah seorang ibu rumah tangga sederhana yang juga memungut botol dan
aqua gelas. Lisa, adiknya yang pertama, duduk di bangku kelas 3 SMU Negeri 1
Rumpin. Melati, adiknya yang kedua, duduk di bangku kelas 2 di SMU yang sama.
Kenny, adiknya yang ketiga, duduk di bangku kelas 6 SD Sukajaya. Sementara tiga
adiknya yang lain juga masih sekolah di sekolah yang sama. Romadon di kelas 5,
Rohani di kelas 4 dan Mia di kelas 1.
Tahun 1994,
Ming Ming dan keluarganya tinggal di sebuah rumah kontrakan tipe 26 yang sangat
sederhana di Cengkareng, persisnya di daerah Kosambi. Kehidupan ekonomi
keluarganya ketika itu sangat pas-pasan. Kedua orang tuanya berjualan rempeyek
dari warung ke warung. Hasilnya hanya cukup untuk bisa makan dan bayar
kontrakan. Tidak lebih. Untung saja Ming Ming belum sekolah sehingga beban keluarga
tak bertambah. Apalagi kalau bukan karena usianya yang masih terlalu kecil.
Masih 4 tahun. Hanya saja, gereget untuk sekolah sudah ada. “Dalam usia sedini
itu saya merasakan semangat untuk sekolah, merasakan keinginan yang kuat untuk
belajar,” ceritanya.
Karena
keinginan yang besar itu, Ming Ming pernah meminta kedua orang tuanya untuk
disekolahkan. Syaepudin dan Pujiyati tak berkeberatan. Mereka sadar betul akan
arti pendidikan. Singkat cerita, Ming Ming didaftarkan ke SDN 02 Kosambi.
Masalahnya, kepala sekolah merasa keberatan karena usianya belum cukup. “Karena
ibu merasa kasihan melihat saya, ibu merayu kepala sekolah untuk bisa sekolah,”
lanjutnya. “Rayuan” ibunya berhasil. Kepala sekolah mengangguk. Tetapi ada
catatannya. Kalau dalam tempo tiga bulan ia tidak bisa, ia akan dikeluarkan.
Jadilah Ming Ming sekolah. Sebulan lewat, tidak ada masalah. Demikian hingga
bulan ketiga. Tak ada masalah. Ia justru bisa naik ke kelas 2 dengan hasil yang
memuaskan.
Pindah ke
Bogor. Saat Ming Ming beranjak kelas dua, Syaepudin, sang
ayah, merasakan bahwa hidup di Kosambi ternyata sangat mahal dan ia merasa
tidak akan mampu membiayai anak-anaknya untuk jangka kedepan jika ia terus
berlama-lama tinggal di daerah Kosambi. Tanpa pikir panjang, Ming Ming dan
keluarga memutuskan untuk pindah ke daerah Bogor dan meninggalkan usaha
rempeyeknya. Usaha rempeyek pada saat itu sedang maju, tapi Syaepudin sangat
yakin bahwa usaha itu tidak akan berkembang untuk ke depannya. “Pada saat itu
ayah sudah memiliki modal,” terangnya. Tahun 1996 ia memulai kehidupannya di
daerah Bogor, dan memulai usaha baru dengan membuka toko makanan kecil-kecilan.
Setahun
berjalan, usaha itu bangkrut. Keluarga Ming Ming pun mengalami paceklik. Saat
itu, makanan pokok yang sering dimakan adalah nasi yang hanya satu liter dan
dijadikan bubur untuk makan sekeluarga agar bisa melanjutkan hidup. Hal itu
berjalan selama lima tahun. “Kalau ayah benar-benar sedang seret, nggak punya
uang, maka singkonglah makanan pokok kami. Itu pun kami dapatkan dengan cara
meminta dari kebun orang lain,” kenangnya sambil berkaca-kaca.
Pada tahun
1999 terjadi krisis moneter. Syaepudin tidak memiliki uang sama sekali. Waktu
itu Ming Ming berusia 8 tahun. Karena situasi yang sangat berat ini, Pujiyati
yang sedang mengandung mesti bekerja keras untuk membantu perekonomian
keluarga. Setiap siang ia berjalan kaki sejauh beberapa kilometer sambil
membawa karung. Ia mengumpulkan botol-botol aqua gelas di desa lain. Menjelang
Maghrib, baru ia kembali ke rumah. Tak hanya itu, Pujiyati dan anak-anaknya
sering juga mendatangi desa-desa yang menggelar acara musik dangdut. Mereka
membawa karung masing-masing untuk mengumpulkan botol-botol bekas air mineral
yang ditinggalkan dan dibuang penonton. Ia dan anak-anaknya baru pulang ke
rumah sekitar pukul 03.00 WIB. Tak hanya sekali, tetapi beberapa kali.
Selain
memungut botol bekas air mineral, Pujiyati juga sering menimba air dari sumur
yang letaknya agak jauh dari rumah. Tak jarang ia juga membawa beberapa ember
pakaian dan mencucinya di kali desa Sukasirna, tak jauh dari rumahnya. Karena
pekerjaan semacam itu dan tak adanya asupan gizi, Pujiyati kehilangan bayinya.
Bayi kembarnya meninggal dunia beberapa saat setelah dilahirkan. “Betapa
susahnya perjuangan kita pada saat itu,”desahnya.
Syaepudin selalu
memikirkan bagaimana caranya agar keluarga dapat makan dan tidak kelaparan.
Setiap ada lahan untuk usaha, apapun bentuknya, asalkan halal selalu
dilakoninya. Saat itu ia melihat ada dedaunan pisang, hal itu dijadikannya
sebagai usaha untuk memperpanjang hidup. Daun-daun pisang itu ia kumpulkan dan
bersihkan lalu dijual ke pasar. Hasilnya, bisa untuk makan sehari-hari. Krisis
moneter pun berangsur-angsur pulih dan Ming Ming sekeluarga dapat makan nasi
meskipun dengan lauk tempe.
Suatu hari,
ada seorang teman Syaepudin datang ke rumah untuk berbincang-bincang. Ketika
mengetahui kondisi keluarga Syaepudin, sang teman memberitahu bahwa gelas-gelas
bekas air mineral itu dapat dijadikan uang jika dikumpulkan. Saat itu juga
Syaepudin berembuk dengan seluruh keluarga dan memulai usaha baru yaitu
mengumpulkan gelas dan botol-botol bekas air mineral. Hampir setiap hari
keluarga mereka berbondong-bondong keluar sambil membawa karung dan memunguti
gelas-gelas plastik bekas air mineral. Sekilo gelas-gelas plastik bekas air
mineral, dihargai sebesar delapan ribu rupiah. Dalam sehari, Ming Ming bisa
mengantongi gelas-gelas plastik bekas air mineral sebanyak satu karung beras
atau seberat satu kilo.
Bisa
Kuliah. Setelah tamat SMU, Ming Ming tidak pernah terfikir
akan melanjutkan kuliah. “Dalam bayangan saja, nggak pernah
terlintas bisa kuliah karena memikirkan uang yang berjuta-juta. Darimana saya
bisa mendapatkan uang sebanyak itu, melihat saja tidak pernah,” ujarnya. Dalam
kondisi seperti itu, beruntung Ming Ming mempunyai sosok ayah yang mementingkan
arti sebuah pendidikan. Sebagai ayah, Syaepudin selalu memotivasi anak
sulungnya untuk mencari ilmu. Bahkan ia yang mendorong agar anaknya tetap
kuliah meski harus prihatin.
Tahun
ajaran 2007-2008, Ming Ming memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya ke
perguruan tinggi. Sang ayah menyarankan agar ia mengambil jurusan akuntansi di
Universitas Pamulang, Tangerang, Banten. Dengan biaya Rp 900.000, Ming Ming
bisa duduk di bangku kuliah. Beruntung ia mendapat keringanan sehingga biaya
tersebut bisa dicicilnya, per bulan sebesar Rp 150.000. Bagi Ming Ming, uang
sebesar itu merupakan uang yang sangat banyak. Jadi, apabila ia ingin kuliah
maka ia pun harus bekerja keras siang dan malam.
Dalam
sehari, Ming Ming hanya tidur beberapa jam saja. Di sela tidurnya, ia selalu
menyempatkan diri untuk shalat tahajud, setelah itu ia langsung melakukan
aktivitas pekerjaan rumah seperti mencuci dan menyapu. Tepat pukul 06.00 pagi,
Ming Ming berangkat menuju kampusnya di Tangerang. Karena tidak ada bahan yang
bisa dimasak untuk sarapan, maka Ming Ming sudah terbiasa menahan laparnya
hingga ia pulang kuliah.
Berangkat
dari rumahnya, Ming Ming harus berjalan kurang lebih sejauh 5 km melewati hutan
belantara yang ditumbuhi pohon-pohon yang sangat besar. Karena tidak punya
ongkos untuk naik bus luar kota, terpaksa ia harus menunggu lama menghadang
truk yang lewat. Biasanya ia menumpang truk sampai perbatasan yaitu daerah
Cicangkal yang jaraknya memakan waktu kurang lebih satu jam. Meski ia seorang
perempuan dan memakai baju panjang, namun Ming Ming terlihat begitu lihai
menaiki truk yang lumayan besar itu. Pertama-tama ia melempar terlebih
dahulu gembolan karung yang dibawanya ke atas truk. Barulah
kemudian ia naik dengan cara menaiki bannya terlebih dahulu dan lalu meniti
lewat badan truk. Karena sudah terbiasa, Ming Ming tidak kesulitan ataupun
takut terjatuh ketika naik di belakang truk yang tingginya bisa mencapai tiga
kali tinggi tubuhnya.
Sampai di
Cicangkal, Ming Ming memilih untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Disamping menghemat ongkos, hal tersebut juga dilakukannya untuk sekalian
mencari botol-botol bekas ataupun gelas-gelas bekas minuman air mineral yang
biasa dikumpulkannya. Sepanjang jalan, ia melihat ke kanan dan ke kiri berharap
ada gelas-gelas plastik air mineral yang tergeletak. Tak jarang, saat memulung
ia juga berpapasan dengan ibu ataupun adik-adiknya yang juga ikut memulung.
Setelah
berjalan kira-kira 5 km, Ming Ming melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot
berwarna putih-orange jurusan Serpong, ia pun selalu membayar dengan uang
seadanya. Berkat keramahan dan kebaikan yang selalu terpancar dari wajahnya,
Ming Ming hampir tidak pernah mendapatkan hal yang buruk. “Alhamdulillah,
sampai detik ini saya belum pernah mengalami kejadian buruk selama di
perjalanan,” tutur gadis yang memiliki hobi menulis dan membaca ini.
Jarang
Makan Siang. Dari Serpong ia pun meneruskan perjalanan dengan
menaiki kendaraan angkot menuju arah Ciputat hingga sampai ke kampusnya di
Universitas Pamulang, Tangerang. Meski jarak dari rumahnya di Bogor hingga
kampusnya di Tangerang lumayan jauh namun Ming Ming selalu masuk kelas dengan
tepat waktu dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Perkuliahan biasanya
dimulai pukul 10.00 atau 11.00 siang dan berakhir pada pukul 14.00 atau 16.00
sore. Saat jam istirahat (siang hari), Ming Ming hampir tidak pernah makan di
kantin. Meski perutnya terasa keroncongan karena dari pagi belum makan, selalu
ditahannya. Jam istirahat digunakannya untuk membaca buku-buku pelajaran di
perpustakaan.
Selesai
mengikuti perkuliahan, jika tidak ada kegiatan lain, Ming Ming biasanya
langsung bergegas pulang. Seperti biasa, untuk menghemat ongkos, pulangnya pun
ia menumpang truk yang lewat. Di sebuah rental komputer yang jaraknya sekitar 5
km lagi ke rumahnya, Ming Ming memutuskan untuk turun dari truk. Ming Ming
biasanya mampir sebentar ke rental tersebut untuk belajar komputer. Kira-kira
selama satu jam Ming Ming berada di dalam rental. “Itu saya lakukan kalau lagi
ada uang,” tambahnya. Setelah itu barulah ia melanjutkan perjalanannya dengan
berjalan kaki dan tentu saja sambil memulung. Ia pun tak pernah lepas
dari gembolan karung yang berisi botol-botol ataupun
gelas-gelas plastik bekas minuman air mineral.
Tidak
seperti layaknya pemulung lain, Ming Ming memiliki sikap yang sangat ramah
terhadap siapapun. Sepanjang perjalanan, hampir semua warga yang ada di daerah
itu mengenalnya. Tak jarang ia pun sering diminta untuk mampir. Tak jarang pula
ada warga yang bertanya, “Untuk apa neng botol-botol bekas
itu?” Gadis yang saat ini masih duduk di semester 2 itu pun menjawab, “Untuk
biaya kuliah pak.”
Di tengah
perjalanan, ketika panas dan rasa lelah sudah menghampiri seluruh tubuhnya,
Ming Ming berhenti sejenak untuk menunggu kalau-kalau ada truk yang lewat agar
ia tidak harus berjalan kaki. Sama seperti ketika berangkat, Ming Ming pun
harus melewati hutan belantara dan jalan yang berkelok-kelok untuk bisa sampai
di rumahnya. Biasanya, pukul 19.00 Ming Ming tiba di rumah yang hanya terdiri
atas dua petak ruangan itu. Setelah berganti pakaian, Ming Ming memulai
aktivitasnya untuk membersihkan botol-botol ataupun gelas-gelas hasil
memulungnya hari itu.
Rumah yang
ditinggalinya memang tidak layak untuk disebut sebagai rumah. Temboknya hanya
terbuat dari bilik yang sudah bolong-bolong di beberapa bagian. Lantainya pun
masih berupa tanah yang hanya dialasi koran. Belum lagi atap rumahnya yang
hanya ditutupi oleh karung-karung bekas. Tak ada kamar mandi dan perabotan
berarti di rumah tersebut.
Setelah
membersihkan hasil memulungnya, malamnya Ming Ming harus menyetrika baju
seluruh keluarga. Pukul 21.00 hingga 22.00, ia selalu sempatkan diri untuk
belajar sebelum akhirnya tertidur dan terbangun pada pukul 02.00 atau 03.00
dini hari untuk shalat tahajud. Begitu seterusnya yang ia lakukan sehari-hari.
Ming Ming berharap dengan perjuangan dan ridha Allah, ia bisa terus menuntut
ilmu. Dengan ilmu, ia yakin bisa menggapai cita-citanya guna mewujudkan
impiannya untuk mendirikan sekolah TK Islam Terpadu, bahkan kalau bisa hingga
perguruan tinggi. Aimee
Side bar 1:
Hanya
Setahun Sekali Bisa Mencicipi Daging Ayam
Bagi kebanyakan
orang, daging ayam adalah makanan yang sangat umum. Namun tidak untuk Ming
Ming. Daging ayam merupakan daging yang sangat istimewa. “Setiap satu tahun
sekali, saya baru bisa merasakan daging ayam,” ungkapnya. Biasanya saat hari
raya Idul Fitri ia baru bisa makan daging ayam, itupun di hari kedua Lebaran.
Hari pertama Lebaran, setelah bersilaturahmi dengan tetangga-tetangga, Ming
Ming dan keluarga langsung mengambil karung dan memulung botol-botol bekas air
mineral. Bersama keluarganya pula Ming Ming berjalan sampai ke desa seberang di
tengah teriknya matahari.
Ming Ming
mengaku saat Lebaran adalah saat dimana keluarganya harus mengais rezeki
sebanyak-banyaknya, karena pada saat itu banyak orang yang menggunakan minuman
gelas-gelas praktis untuk menjamu tamunya. “Pada saat itu adalah kesempatan
untuk berkeliling dan mencari gelas-gelas bekas minuman,” jelasnya. Pada
Lebaran hari kedua, setelah keluarganya dapat mengumpulkan botol-botol ataupun
gelas-gelas bekas minuman, sang ayah akan menjualnya dan bisa mendapatkan uang
yang sangat lumayan. Uang tersebut diberikan kepada sang istri, Pujiyati, dan
Pujiyati langsung bergegas ke pasar untuk membeli satu ekor ayam. Setelah sang
ibu pulang dari pasar, Ming Ming dan adik-adiknya membantu memasak. Setelah ayamnya
matang, Ming Ming sekeluarga berkumpul untuk makan dan mengucap syukur.
“Walaupun hanya satu tahun sekali, kami sangat menikmatinya dan mensyukurinya,”
ujar Ming Ming terharu. “Saat itulah merupakan anugerah terindah bagi keluarga
kami,” tambahnya. Aimee
Side bar 2:
Mendoakan
Orang yang Memandang Sinis Padanya
Setiap hari
setelah selesai kuliah, Ming Ming memang harus berjalan kaki mencari
botol-botol bekas. Meski sering dianggap remeh orang, namun Ming Ming selalu
berusaha untuk tetap sabar. Pernah saat Ming Ming memulung di sebuah desa yang
masih merupakan kecamatan Cicangkal. Saat itu ia dipanggil oleh seorang
bapak-bapak yang tak dikenal. Bapak itu menyuruh agar Ming Ming mengambil
gelas-gelas plastik yang ada di hadapannya. Tentu saja Ming Ming sangat
berterima kasih. Namun ketika ia hendak memungut gelas-gelas itu, bapak yang
menyuruh tadi langsung menendang gelas-gelas plastik tersebut. Ming Ming
berusaha sabar. Namun, saat Ming Ming ingin mengambil gelas-gelas plastik itu
untuk kedua kalinya, bapak tersebut kembali melakukan hal yang sama. Lalu
dengan tegas Ming Ming berkata, “Seberapa berharga gelas-gelas plastik ini di
mata bapak, mungkin bagi bapak itu tidak berharga, tapi bagi saya dan keluarga
sangat berharga. Dari sini kami bisa makan dan bersekolah.” Kemudian bapak itu
terdiam dan langsung meninggalkan Ming Ming. Dari situ Ming Ming berpikir bahwa
pada suatu ketika ia harus tegas akan suatu hal yang disepelekan.
Awal masuk
kampus, tidak ada satu pun teman yang mengetahui keadaan ekonomi keluarga Ming
Ming. Tapi lama kelamaan karena terlalu sering telat bayar uang kuliah,
akhirnya ada satu orang temannya yang tahu. Bahkan teman kampusnya itu juga
pernah datang ke rumah Ming Ming. Awalnya Ming Ming takut akan dijauhi
teman-temannya, namun setelah itu ia pun bersyukur karena justru banyak
teman-teman yang membantu dan mensuport kegiatannya, meski tidak bisa juga
dipungkiri ada beberapa teman yang menganggap bahwa pekerjaan memulung adalah
pekerjaan yang hina. Tapi Ming Ming tidak menghiraukannya, dan bahkan mendoakan
yang terbaik untuk temannya itu. Aimee
Side bar 3:
Mendapat
Peringkat Meski Harus Bekerja Keras
Hari-harinya
yang harus selalu diisi dengan bekerja dan bekerja, tidak lantas memberikan
dampak negatif bagi nilai akademiknya. Kedisiplinan yang ia miliki, membuat
segalanya bisa terencana. Pembagian waktu belajar pun telah ia susun secara
terperinci. Meski ia tidak memiliki buku dan hanya meminjam dari
teman-temannya, namun ia selalu meluangkan waktunya untuk membaca. “Saya cuma
bisa beli buku loakan yang harganya Rp 3000, itu pun sangat jarang,” ungkap
Ming Ming.
Ketika ia
tidak sempat belajar karena harus memungut botol-botol bekas, ia tidak
membiarkan waktu itu berlalu begitu saja. Ia selalu menyempatkan diri membaca
buku pelajaran sambil berjalan. Misalnya, membaca di dalam angkutan kota.
Kadang juga ia baca sebelum dosen masuk kelas.
Semangat
dalam menjalani hidup, membuat prestasinya tidak terhalang. Dari SD hingga SMU,
Ming Ming selalu mendapatkan peringkat tiga besar. Bahkan ia juga memiliki
prestasi di luar pendidikan formalnya. Pada tahun 2007 sebelum ia meninggalkan
bangku SMU, ia pernah mendapat juara lomba puisi. Saat itu ia mendapat juara ke
2. Ia pun masuk dalam sepuluh besar lomba membawakan berita. “Saat
itu adalah tepat hari bahasa,” terangnya.
Menurut
kepala jurusan Akuntansi Universitas Pamulang, Endang Rukhiat, SE., MM., Ming
Ming merupakan anak yang penuh semangat dalam belajar. “Ia pun termasuk ke
dalam peringkat 10 besar dari seluruh mahasiswa jurusan akuntansi,”
ujarnya. Aimee
Sidebar 4:
Ustadz
Ahmad Al-Habsy, Penceramah
“Ming
Ming bisa dikatakan sedang berjihad”
Apabila
seseorang yang mencari ilmu dan mencari nafkah dengan jalan memulung berarti
orang itu sudah bisa dikatakan jihad. Orang yang memulung lebih baik bila
dibandingkan dengan orang yang suka menggantungkan hidup kepada orang lain.
Terkadang manusia menganggap bahwa pekerjaan memulung itu rendah, padahal di
mata Allah itu belum tentu. Justru orang yang mulia adalah orang yang mau
bekerja keras dan mencari ilmu setinggi-tingginya.
Ada hadist
yang mengatakan, “Orang yang menggantungkan diri dengan orang lain maka di
akhirat kelak akan dibangunkan jasadnya hanya tulang tanpa kulit.” Diantara
sifat-sifat pemulung terdapat kisah, ada seseorang yang setiap hari
pekerjaannya membersihkan duri yang ada di jalanan namun karena kerja keras dan
semangatnya maka ia pun menjadi orang yang sukses. Allah menjanjikan, “Likulli
mujtahid nafsibun.” Setiap orang yang mau bekerja keras dan dia
bersungguh-sungguh maka seseorang itu akan diberikan jaminan dari Allah berupa
kesuksesan yang tidak pernah diduga-duga sebelumnya. Aimee